16 November 2015

Mission Langsingable

Diet.
Yoyoyo, saya sedang diet.
Oh tidak, tidak saya sedang ancang-ancang utnuk diet.
Sudah lebih kurang sebulan saya berniat untuk melakukan diet.
Hanya saja, sampai detik ini, niat tersebut masih sebatas niat.
Belum ada realisasi.

Kenapa, kenapa dan kenapa?
Kenapa saya pengen diet?
Kenapa masih ancang-ancang?
dan kenapa belum teralisasi?

Karena eh karena .......
karena badan saya sekarang sedang melar-melarnya.
karena terakhir, jarum timbangan menunjukkan posisi yang membuat saya begitu terkejut, posisi yang pernah saya lihat hanya ketika saya sedang hamil 7 bulan.
Tidaaaaaaaaaaaaaaakkkkkkkkkk...........

Kenapa juga masih ancang-ancang?
Karena di kantor, lagi trend yang namanya Diet Mayo. Itu loh, diet 13 hari, dimana kita hanya boleh makan dengan menu yang telah ditentukan, dimana menu tersebut salt free, dimana konon kabarnya kita gak boleh memasukkan makanan lain selain menu tersebut dan air putih, dimana ketika saya melihat menu tersebut saya langsung  mundur teratur, yang mana menrut saya makan dengan menu tersebut merupakan penyiksaan jiwa raga, yang mana menyiksa diri sendiri itu adalah sebuah dosa :-D .
Saya cuma banyak alesan padahal intinya aku tak sanggup, sungguh ku tak sanggup :-D
Hingga diet mayo tinggal hanya sebuah ancang-ancang tanpa ada permulaan.

Maka, saya memutuskan untuk melakukan diet lain saja, yang menurut saya gampang untuk dilaksanakan, terbebas dari penyiksaan dan rasa lapar :-D
Dan kenapa sampai sekarang belum juga terealisasi?
Karena sampai sekarang saya belum menemukan diet yang sesuai kriteria saya, yang mana bisa menurunkan BB dalam kurun waktu yang cukup cepat namun tanpa ada siksaan batin untuk menahan diri dari kenikmatan yang tersaji. Tsaaaaaaaahhhhhh....

Kata pepatah, banyak jalan menuju Roma.
Akhirnya saya mencari jalan lain. Bukanlah saya jikalau saya diet. Lagipula, ternyata setelah saya ceritakan apa itu diet mayo, suami tidak setuju. Alasannya, karena gak makan garam sama sekali itu juga gak baik buat tubuh. Selain itu, suami saya ternyata gak suka makan sendirian, pengennya makan bareng (ini hanya bualan saya, saya yang gak tahan pengen ikut makan kalo suami saya makan :-D)

Ssst .................
sebenarnya saya pengen diet demi suami juga.
Ehmm... ehmmm...
Gini lho, saya itu  pengen digendong belakang/punggung suami  kyk di film-film Korea.
Kalo saya gendut kan kesian suami saya memikul beran yang begitu berat.
Dimanakah letak demi suaminya?
Hahahahahahahahaha

Baiklah, karena banyak hal diatas, akhirnya saya mengurungkan diri dari segala macam jenis diet.
Dan saya beralih untuk berolahraga.
Ya, Olahraga.
Kata yang begitu asing untuk saya selama dua tahun terakhir ini.
Saya ini kan seorang Ibu, selain itu saya juga bekerja. Yah, semacam wanita karir gitulah :-D (saya geli sendiri menyebut diri saya wanita karir ), sehingga saya merasa tidak punya waktu bahkan untuk hanya sekedar berolahraga. Padahal mungkin sebenarnya lebih dikarenakan rasa malas untuk memulai dan malas untuk mencuri-curi waktu disela-sela kesibukan  mengurus dan bermain serta bercengkrama bersama suami dan anak dan tentu saja bekerja.

Namun dimana ada niat yang kuat, disitu pasti akan saya temukan waktu dan jalannya
Dan saya memutuskan untuk bersepeda setelah subuh setiap hari.
Alhamdulilillah  suami mendukung dan alhamdulillah lagi ketika saya keluar rumah untuk bersepeda, Nadya masih tertidur pulas dan bangun ketika saya kembali.

So far, semua berjalan lancar. Sudah 2 minggu saya teratur bersepeda setiap pagi. Saya sih belum berani ketenu sama jarum timbangan, takut dan belum siap menerima kenyataan jikalau si jarum tetap tidak  beranjak dari posisi semula atau malah bergeser semakin kekanan.
Tapi semakin kesini, ternyata saya menikmati dan mendapatkan manfaat lain dari rutinitas ini. 

Saya bangun lebih pagi yang mana membuat saya punya lebih banyak waktu untuk beres-beres kamar tidur dan menyiapkan pakaian suami untuk bekerja, meski ia tak pernah memintanya.
Saya merasa terdetoksifikasi karena banyaknya keringat yang saya keluarkan setiap habis bersepeda.
Saya rasanya sudah lama tidak mengeluarkan keringat sesegar itu. Saya bekerja diantar naik mobil. Di kantor pekerjaan saya kebanyakan duduk menghadap komputer di ruangan ber AC, saya hampir tak pernah berkeringat.
Sayapun merasa lebih segar di kantor, tidak gampang capek dan tidak mudah mengantuk. Dan pulang ke rumah setelah bekerja pun, tubuh saya masih terasa segar dan bisa memberikan banyak waktu berkualitas untuk Nadya.
Yah, setidaknya saya mendapatkan baegitu banyak manfaat lain dari kegiatan barru  ini dan mungkin saya tak akan terlalu kecewa jikalau ternyata berat badan saya tidak berkurang sama sekali.

Meski begitu misi utama saya tetaplah untuk menurunkan berat badan dan untuk meklangsingkan tubuh. :-D
Jika jalan ini tidak berhasil, tentu saya akan mencari jalan lain kesana.

Mission Langsingible continued.

03 November 2015

Cerita Lumba-Lumba

si lumba-lumba, bermain bola, bermain api, makan dulu. Itulah dia si lumba-lumba

Satu baris lirik lagu diatas adalah lirik yang begitu saya ingat. Salah satu lagu anak-anak populer di era tahun 90an. Meski hafal lirik lagu di atas, saya sama sekali belum pernah melihat lumba-lumba secara langsung. Masa kecil saya cukup awam dengan segala jenis pertunjukkan sirkus apapun, orang tua pun tidak pernah mengajak karena di palembang memang minim pertunjukkan sejenis (atau mungkin kami saja yang kurang informasi :-D)

Maka kemaren ketika ada spanduk bertuliskan acara atraksi lumba-lumba di salah satu mall di kota palembang, saya berinisiatif mengajak Nadya serta dua orang keponakan saya, Fariha dan Faaiz untuk menonton, suami pun mengizinkan.

Jadilah hari minggu kemarin kami berangkat dengan niat mennton acara tersebut. Dan ternyata keramaian yang ada di luar ekspektasi kami. dan antrian sudah  begitu panjang, baik antrian masuk maupun antrian tiket.

Ah, rasanya ingin mengurungakan niat, namun melihat bocah-bocah ini yang berharap melihat lumba-lumba dan sudah jauh-jauh dari plaju menuju basuki rahamat (men kato wong plembang "ngandon" :-D), rasanya ya nggak tega dan sayang juga. Akhirnya suami pun rela antri dan untungnya pelayanan tiket lumayan cepat dan tak perlu berlama-lama mengantri. Mungkin karena acara suah sore, sehungga peminat sudah mulai berkurang.

Karena hari masih menunjukkan pukul 15.00 WIB dan kami memang belum sholat Ashar, kami pun memutuskan masuk ke dalam gedung PTC untuk menunaikan Sholat, meski didepan pintu masuk arena sudah panjang antrian penonton untuk masuk namun biarlah, daripada takut kehilangan pertunjukkan, kami lebih takut untuk kehilangan Ashar pada hari itu.

Dan hari masih menunjukkan pukul 15.30 ketika kami kembali ke arena setelah sholat Ashar. Antrian sudah panjang dan berdesak-desakan. Ah, sekali lagi rasanya ingin mundur teratur, namun sayang rasanya. Pergi jauh-jauh, tiket sudah ditangan dan harapan bocah-bocah kecil ini melihat lumba-lumba. Akhirnya, kamipun ikut berbaris di antrian yang berdesakan. Entahlah, mungkin karena kurangnya kesiapan panitia dan mungkin juga adat-istiadat di kota kita ini memiliki kekurangan kepedulian untuk mengantri dengan tertib, antrian pun menjadi berdesak-desakan. Banyak yang akhirnya menyerobot antrian, termasuk kami :-D.

Saya khawatir dengan krucils yang kami bawa, orang-orang banyak yang medesak namun masih dalam tahap aman. tetapi untungnya tiga bocah ini tetap excited dan bersemangat. Nadya sampai digendong di pundak sang ayah, dan ia tertawa-tawa, saya membimbing Fariha dan ayuk ipar saya membimbing Faaiz, dan kamipun masuk arena dengan selamat sentosa dan sejahtera :-D

Ternyata pertunjukkan tak hanya lumba-lumba namun diawali dengan kakatua, berang-berang dan beruang. Menurut kami yang orang dewasa ini, pertunjukkan hewan-hewan itu biasa-biasa saja, namun anak-anak cukup excited, bahkan Nadya yang sedikit mengantuk melek kembali seketika melihat beruang bermain sepeda. Dan tibalah pertunjukkan lumba-lumba menjadi puncak acara. Pertunjukkan cukup seru. Nadya bertepuk-tepuk tangan, Faaiz samapai berdiri sambil bertepuk tangan setiap lumba-lumba selesai melakukan aksinya.  

Ah, pertunjukkan lumba-lumba selesai dan tibalah sesi foto. Sebenarnya, sesi foto ini tak terlalu istimewa namun bayarannya begitu mahal. Sekali foto dipatok tari Rp.40.000. Wow, komersial sekalii. Meski begitu, banyak yang membeli tiket foto bahkan membeli lebih dari satu tiket agar masing-masing dapat berfoto sendiri dengan lumba-lumba. Kami hanya membeli satu tiket. Tujuan pun sebenarnya lebih kepada ingin mendekati lumba-lumbanya, agar anak-anak melihat lebih dekat. Nadya senang sekali, dia mengelus-elus punggung lumba-lumba, Fariha pun begitu. Faaiz yang awalnya takut akhirnya berani mendekat. Nadya bahkan tidak mau berdiri. Ketika sesi foto selesai dan panitia meminta kami meninggalkan tempat, nadya masih sempat memegang sirip lumba-lumbanya.

Dan misi melihat lumba-lumba pun selesai.

Tapi, ada yang sedikit mengganggu saya. Di awal pertunjukkan saya, suami dan ayuk ipar  sempat bertanya-tanya bagaimana cara mereka membawa lumba-lumba sebesar ini. Apakah mereka menyediakan kolam khusus selama perjalanan. Namun  ketika acara sudah akan dimulai hal itu tidak kami pikirkan lebih lanjut. Selain itu saya juga sempat merasa kasian melihat mereka berbaring saat sesi foto. Ratusan orang yang meminta berfoto bersama mereka termasuk kami tentu saja. Apakah mereka bosan, bagaimana bisa mereka sepatuh itu. Saya menduga mungkin mereka sudah terlatih. Dan saya tak memikirkan lebih lanjut.

Jawaban tersebut akhirnya saya dapatkan keesokan harinya. Teman saya berkata bahwa sirkus lumba-lumba adalah ilegal dikarenakan cara mereka membawa lumba-lumba tersebut dimana tidak ada air yang disipkan selama perjalanan. Mereka hanya diberi spons basah didalam kotak seukuran tubuh mereka  agar kelembabannya terjaga. Selain itu, saya pun akhirnya meencari informasi tentang sirkus via google search . Ternyata agar mereka mau beraksi, mereka dibuat lapar. Ketika mereka selesai melakukan atraksi, mereka pun diberi makan. Istilahnya mereka dipaksa  "memburuh dengan upah ikan mati". Kemudian, mereka pun dilatih dengan cara memberikan hukuman jika mereka tidak menurut. Akhirnya saya mengambil kesimpulan, bahwa sebenarnya  tidak hanya pertunjukkan lumba-lumba yang ilegal, namun pertunjukkan seluruh hewan adalah ilegal jika mereka dilatih dengan kekerasan dan hukuman. Dan itu adalah penyiksaan. Ah, ini info yang baru kami ketahui. Maklumlah, kami awam terhadap hal-hal yang berbau lingkungan hidup karena memang baru sekali ini seumur hidup kami melihat atraksi hewan, apapun hewannya.

Mungkinkah hewan-hewan  tadi terpaksa dan tersiksa. Wallahu a'lam. 

02 Oktober 2015

Fatimah Salsabila

           Satu bulan berlalu. Dan ini pertama kalinya saya merasa cukup tenang untuk bercerita, mengorek kembali keping-keping memori di kepala saya. Menulis tanpa derai air mata yang akan membuat bukan hanya mata, hidung namun baju saya pun ikut basah karenanya. Meski tentu, sesak akan selalu datang dengan sendirinya.

Hari itu mungkin akan menjadi salah satu hari yang tidak terlupakan dalam hidup saya. Hari dimana saya harus merelakan satu kehidupan di dalam rahim saya kembali kepada penciptanya, kembali kepada pemiliknya yang sesungguhnya.

Tengah malam itu, saya merasakan perut saya sakit meski sakitnya bukan tak tertahankan, saya hanya merasa sakit seperti saat datang bulan saya tiba. Saya belum membangunkan suami karena ia terlihat tidur pulas dengan raut lelah di wajahnya. Saya tahu ia begitu lelah, maka saya tak tega membangunkannya hanya untuk merengek atau minta dielus perut saya. Saya hanya membaca ayat-ayat dan do'a-do'a yang diajarkan ibu sambil terus mengelus perut saya dan menarik dan menghembuskan nafas untuk mengurangi rasa sakit.

            Sebenarnya rasa sakit yang saya rasakan tidak seberapa, saya masih bisa menahannya. Namun ada rasa kekhawatiran yang menyusup karena meski sakitnya tak seberapa dibandingkan dengan kontraksi saat saya melahirkan anak pertama,  saya tahu bahwa ini yang dinamakan kontraksi, rasa sakit yang datang dan pergi dengan jangka waktu yang cepat satu sama lain, yang menandakan bahwa sang bayi di dalam rahin ingin segera keluar,. Kekhawatiran yang sekuat mungkin saya halau. Ketika saya membangunkan suami sekitar puku 12 malam, ia berusaha tenang, meski saya tahu segala macam rasa bergejolak, kami berangkat ke rumah sakit ditemani ibu.

Ketika sampai di IGD, dokter langsung memeriksa detak jantung bayi, dan syukur alhamdulillah kami ucapkan kala itu bahwa jantungnya masih berdetak normal, namun saya harus tetap dirawat, untuk diperiksa dan bertemu dokter kandungan saya karena ada sedikit flek saat dokter jaga memeriksa. Di ruang kebidanan, dokter kandungan  memeriksa melalui mesin USG dan saat itulah saya merasa begitu shock, ketika dokter berkata bahwa air ketuban saya sudah kering dan bayi sudah berada di jalan lahir. Dokter memutuskan agar saya melahirkan saat itu juga. Saya sempat menangis dan menolak karena bayi saya masih hidup, jantungnya masih berdetak. Ibu dan suami bertanya apakah tidak bisa ditahan mengingat usia kandungan saya yanng baru 21 minggu. Dokter berkata tidak akan ada kemungkinan unuk naik lagi, karena sang bayi benar-benar sudah di jalan lahir dan air ketuban pun telah kering. Cepat atau lembat janin ini akan keluar dengan sendirinya. Saya hanya bisa menangis.

Untuk lebih memastikan, dokter melakukan pemeriksaan dalam dan berkata bahwa kepala sang bayi benar-benar sudah dibawah dan saya pun dibawa ke ruang tindakan. Saya pun dipersiapkan untuk melahirkan dengan ditemani suami saya. Mungkin ini adalah suasana melahirkan yang ideal jika saja ini terjadi 4 bulan ke depan ketika usia kandungan saya cukup bulan. Namun tetntu saja, kita tidak diperbolehkan untuk berandai-andai. Saya melahirkan dengan begitu cepat, hanya dua kali mengejan biasa, dan 29 agustus 2015 pukul 06.00 pagi, anak kedua kami pun lahir.. Saya belum diijinkan untuk melihat karena bayi saya perlu diberikan oksigen. Ia bernafas, meskipun nafasnya begitu lemah. Tak ada tangisan darinya, hanya tangis saya dan suami yang terdengar di ruangan itu. Tindakan kepada saya ternyata belum selesai, ari-ari yang masih begitu lengket di rahim harus dikeluarkan dengan dikuret, saya pun dibius.

Ketika sadar, saya melihat suami sudah duduk disamping saya dan berkata bahwa saya tidak boleh bergerak sedikit pun karena darah saya yang keluar ketika ari-ari dikuret cukup banyak. Saya menanyakan bayi kami, dan suami berkata bahwa bayi kami telah kembali kepada Sang Pemilik Kehidupan, dan ia hanya bertahan selama  1 jam. Innalillahi wa inna ilaihi rooji'un.

Meski sudah mengantisipasi kemungkinan tersebut, tak urung air mata saya meleleh. Kami memberinya nama, Fatimah Salsabila. Nama spontan yang muncul ketika kakak saya menyuruh kami untuk menamainya. Suami memberi nama Fatimah yang adalah  anak kesayangan Rasulullah dan Salsabila saya tambahkan karena saya pernah membaca bahwa ia berarti mata air surga. Fatimah akhirnya diperlihatkan kepada saya dalam keadaan sudah meninggal, hanya jasadnya yang saya peluk dan cium. Ia begitu kecil, hanya 380gram, namun fisiknya sudah lengkap, jari jemarinya pun telah membuka.

Tangis saya pun pecah.

Ya Allah, hanya sampai disini amanah ini Kau titipkan kepada kamii, ya Allah apakah dia merasa sakit ketika nafasnya berakhir, apakah ia merasa kesakitan ketika berada di rahim saya dengan kondisi air ketuban yang kering. Segala macam pikiran berkecamuk di kepala saya saat itu.  Dan itu adalah pertama dan terakhir kalinya saya menyentuh dan melihatnya. Perawat mengambil kembali Fatimah karena melihat saya menangis tak henti. Ketika pagi, suami pulang untuk memandikan, mengafani, menyolatkan dan memakamkan Fatimah di halaman rumah orang tua saya. Saya tetap di rumah sakit bersama Ibu. Alhamdulillah, pendaharahan saya tidak berlanjut meski dokter menyuruh untuk tranfusi satu kantong darah. Saya sudah sehat dan bisa pulang keeseokan harinya.

Dan satu bulan telah berlalu sejak hari itu.

 “Fatimah, mama sudah ikhlas, nak. Meski kadang mama begitu terharu setiap memompa air susu yang seharusnya untukmu, meski kadang air mata tak terbendung kala mengingatmu, meski kadang begitu banyak penyesalan di hati mama yang sebetulnnya tak perlu.”

Innalillahi wa inna ilihi rooji'un. Hanya itu kata-kata yang saya  pegang setiap kali saya merasa begitu sedih. Bahwa semua adalah milik Allah dan kepada Allah lah semua kembali. Dan sebagai manusia yang beriman saya percaya itu. Dan saya pun tahu bahwa Fatimah sudah berada di tempat yang jauh lebih baik daripada di rahim ibunya maupun di tempat yang hanya satu jam ia singgahi. Tempat dimana semua mahluk di dunia ingin berada, tempat indah yang dinamakan manusia sebagai Surga. Saya begitu berterimakasih dan mengucap ‘aamiin” atas semua doa-doa yang diucapkan, Do’a kepada saya agar segera sehat dan pulih maupun do’a agar kami segera mendapat pengganti. Meski bagi saya, jika nanti Allah kembali memberikan kepercayaan kepada kami untuk memiliki lagi titipann-Nya, ia bukanlah peganti, namun amanah lain dari Allah.

Fatimah takkan terganti. Ia bayi istimewa, bayi Surga, bayi yang telah memberikan banyak pelajaran kepada saya dan suami, pelajaran akan ikhlas dan sabar. Bayi yang memberikan kami motivasi untuk menjadi manusia yang lebih baik, hamba yang lebih taat, agar kami layak untuk diberi kembali amanah seorang anak dan pantas untuk menyandang predikat sebagai orang tua, di mata Allah SWT.

“Dan akhirnya, menjadi manusia-manusia yang pantas utnuk menemuimu, layak menjadi orangtuamu, menjadi manusia yang mampu men-sholehkan saudara-saudaramu, hingga kita bisa berkumpul bersama-sama,  di surga Allah kelak, Fatimah.”

Aamiin , ya robbal 'alamiin.....

02 Oktober 2015

21 Februari 2015

Monolog Kalbu dalam Sepotong Rindu

Tuhan menganugerahkan kepada saya sepotong rindu yang tak pernah beranjak dari sudut terdalam kalbu. Dan entah kapan saya bisa terbebas dari rasa yang-kata Melly Goeslaw, indah namun menyiksa. Memang benar bahwa bukan jarak yang mampu menumbuhkan cinta meski jarak mungkin mampu memudarkannya. Tiga tahun lebih kami menjaga hati satu sama lain agar cinta tetap tumbuh, berkembang, bersemi meski tak ada tatap muka antara kami di setiap hari dan tentu saja  ada ribuan kilometer dan bentangan permadani biru berwujud lautan  yang mesti ditempuh demi melepas sepotong rindu itu.  Sampai disini, saya masih mampu menikmati, satu hal yang teramat saya syukuri.

Ah, tentu saja saya tidak pernah sedikitpun berbahagia atas ketidakbersamaan kami secara harfiah ini. Demi apapun di dunia, tidak ada yang membuat seorang istri lebih berbahagia daripada  ketika berada di dekat sang suami. Tahukah kamu, bahwa begitu banyak hal yang saya ingin lakukan bersamanya dan begitu banyak hal yang ingin saya lakukan untuknya. Terlalu banyak yang saya lewatkan. Bahkan tidak ada satu kali dalam satu bulan saya bisa menyiapkan pakaian kerjanya.

Dan kamu tahu, saya bertahan. Entah apa, entah bagaimana. Saya hanya menikmati, apapun itu yang Tuhan telah takdirkan untuk saya tempuh dan saya temui sepanjang  perjalanan kehidupan ini. Bertemu dengannya adalah tentu salah satunya. Tidak ada yang ingin saya sesali bahkan saya tak mampu untuk itu. Tuhan telah begitu baik memberikan kepada saya jalan hidup yang begitu indah ini. Skenario-Nya begitu hebat hingga saya bahkan tak mampu untuk sedetikpun mengeluh ataupun menggerutu.

Saya bukannya tak pernah lelah berjibaku dgn rasa rindu, bukan pula saya tak pernah mengadu, saya hanya perempuan biasa dengan segala macam kodrat manusiawinya. Namun saya hanya ingin mensyukuri apapun yang terjadi. Meski do'a untuk sebuah kebersamaan dengan dirinya selalu terucap di akhir salam lima waktu saya, saya tak ingin menjadi seorang yang tak bersyukur meski itu hanya dengan sekedar gerutu atau sebaris-kalimat-galau-di-media-sosial yang tak bermutu.

Ya, kamu benar bahwa  saya sedang rindu, teramat rindu.

13 Februari 2015

Jilbab untuk nadya

Sampe hari ini, saya dan suami memang belum pernah memakaikan nadya jilbab/ kerudung/ hijab ketika kami keluar rumah secara konsisten. Saya hanya pernah  sesekali memakaikannya dan itupun memakai jilbab saya,  dipakai di rumah dan hanya untuk lucu-lucuan dan di foto. Nadya bahkan tidak memiliki koleksi jilbab bayi  karena saya memang tidak pernah membelikan




Saya sebenarnya suka ketika melihat bayi ataupun anak-anak mengenakan jilbab. Mereka terlihat lucu dan menggemaskan.  Namun ketika nadya masih begitu bayi, saya tidak tega melihatnya berjilbab, saya takut ia kepanasan dan tidak merasa nyaman, sehingga meski kepalanya botak karena rambut yang hanya tumbuh seuprit, saya tidak memakaikan apa pun di kepalanya. Bahkan memakai bando pun hanya sesekali. Begitupun ketika nadya menginjak usia 6 bulan, kami tidak memakaikan jilbab karena ia tidak menyukai apapun yang kami pakaikan di kepalanya. Entah itu bando, topi, jilbab atau apapun. Ketika kami memakaikan sesuatu di kepalanya, hal itu hanya akan bertahan selama hitungan detik, tangannya sibuk menarik-narik apapun itu hingga terlepas.


Untuk kami pribadi, menutup aurat bagi perempuan yang telah baligh adalah memang suatu kewajiban. Itu hal yang tak terbantahkan. Dan banyak yang berkata bahwa, anak-anak dapat dilatih sejak dini untuk mengenakan jilbab bahkan sedari si anak belum mencapai usia setahun. Saya tidak membantah hal tersebut karena memang apapun itu sebaiknya diajarkan sedini mungkin. Hanya saja, menurut kami, mengajarkan berjilbab belum lah perlu untuk anak di usia di bawah 3 tahun. Saya lebih menginginkan nadya melihat diri saya terlebih dahulu. Melihat ibunya mengenakan jilbab bila ke luar rumah, dibandingkan memakaikan jilbab itu kepadanya. Toh, nadya belum akil baligh, belum memiliki kewajiban untuk menutup auratnya. Meski begitu, saya tetap gemas setiap kali melihat bayi dan balita  mengenakan jilbab serta kagum kepada mereka juga kagum kepada kedua orang tua mereka yang sudah memperkenalkan jilbab sejak dini.



Memasuki usia dua tahun, nadya sudah tidak terlalu rewel bila kami memakaikan topi atau bando di kepalanya. Aksesoris kepala cukup lama bertahan, meski kadang-kadang ia masih risih dan membukanya sendiri. Ketika tepat berusia dua tahun tanggal 4 februari kemarin, kami memberi satu set mukena sebagai kado. Alhamdulillah ia suka dan langsung memakaninya untuk ikut sholat maghrib berjamaah dan bertahan hingga waktu isya. Kami menganggap ini sebagai langkah awal memperkenalkan menutup aurat kepada nadya.    Tentu kami akan memperkenalkan jilbab kepada nadya secara konsisten, tapi tidak sekarang, mungkin ketika ia memasuki usia tiga tahun, mungkin bisa lebih awal dan itupun tidak akan dilakukan sempurna. Mungkin ia masih memakai celana atau rok sebetis, mungkin ia masih memakai baju lengan pendek maupun ketiak yukensi. Hal ini hanyalah untuk memperkenalkan dan memberitahu nadya akan jilbab. Toh, masih ada cukup waktu hingga ia akil baligh dan memiliki kewajiban untuk menutup aurat dengan sempurna.


Semoga saya dapat memakai jilbab dengan lebih baik lagi dan memberikan contoh yang baik untuk nadya. Dan semoga kami diberi Allah swt. kemudahan dalam mengajarkan dan  memberi pengetahuan  tentang menutup aurat serta  mendidik nadya  untuk menutup aurat dengan baik dan benar..

Aamiin, aamiin ya robbal 'alamiin....
                                                                                                                                                                                                                                          

09 Februari 2015

a (not so) Common Family Photo session

We love taking pictures. Errrr, i mean, I love taking pictures :-D

So, everytime my husband comes home, I ask him to take family pictures. I bet he's already bored with all of this smiles and cheers in front of the camera :-D. But recently, seems like he's enjoying every single photo session  we have and gets more and more  photogenic than he was :-D

Nadya too, she hates people taking picture of her,  she always turns her face away or shows a sullen face whenever a camera  pointed to her. But  she loves posing  in front of  camera which is supported by tripod. She's so excited that she laughs and jumps happily when we do this photo session. She thinks that it's kinda game when we set the timer and rush  to the front of the lens to pose and see the result right after the blitz ends. She enjoys it so much and even  asks  "mama foto, ayah foto"  everytime she sees the tripod.

Once again, I love taking pictures. Photo album is just kinda pensieve for me where I can playback the memories. I love memories, I love looking back to our past photo and thinking how time does fly. Sometimes I smile and laugh  whenever I remember a good or fun times back then. I even bursts into tears   when I remember our hard times, but end up feeling so grateful that Allah has given us enough strength to face and pass it.

Somehow, we don't really like or need any special studio, though many times I am so tempted by those cute studio photographs on the social media.  Everywhere is a studio for us, even a garage door can be our backdrop :-D

Well, here's the results. Some of it might  be not a beautiful and artistic family pictures, but we had so much fun though.


























That's all

Psst, none of us had  taken a bath yet when those picts were taken....

-Dian, a memory lover-

04 Februari 2015

Tentang Seseorang

Seseorang yang telah memberi saya begitu banyak kebahagiaan selama lebih dari tiga tahun ini. Memberi saya begitu banyak cinta dan kasih sayang yang tak putus. Masih begitu jelas teringat di dalam otak saya ketika ia datang ke rumah pertama kalinya, menemui ayah dan ibu, menyatakan niat untuk menikahi anak perempuan mereka. Ada rasa hangat menyelusup meski saya tak pernah menduga niatnya secepat itu. Ibu dan ayah memberi restu. Alhamdulillah, 18 September 2011 terucap akad nikah di depan penghulu. 

Seseorang ini, yang penuh  dengan kesabaran tingkat tinggi menghadapi segala kemanjaan saya, tidak banyak menuntut akan segala kekurangan saya sebagai istri. Mengerti saya, mungkin tepatnya berusaha keras untuk mengerti saya  yang moody, gampang menangis dan emosional.

Dia pun mencemaskan saya, memperhatikan saya, merawat saya ketika saya terbaring lemah tanpa daya di rumah sakit. Satu bulan lamanya dengan empat selang di badan. Semua hal yang seharusnya saya mampu lakukan sendiri, diambil alihnya. Memandikan dan membersihkan seluruh tubuh saya, menyuapi saya makan, menyisir bahkan mengepang rambut saya meski tak rapi :-D, menggendong saya ketika saya bahkan tak mampu berdiri sendiri, meski ia tahu betapa beratnya tubuh pasca melahirkan itu :-D

Ah, dia yang dengan segala ke-tanpa-ekspresiannya- akan mendengarkan ketika saya marah, menangis, membiarkan saya mencurahkan segala uneg-uneg saya. Kemudian setelah semuanya selesai akan menatap saya, menghapus air mata saya dan mencium kening saya dan memeluk tubuh saya yang masih sesengukan sembari meminta maaf  dan memberi pengertian.

Satu-satunya laki-laki yang membuatkan saya akun Internet banking untuk rekening penghasilannya :-D. Mengangkat saya menjadi Dirjen Anggaran Rumah Tangga yang mengatur semua keuangannya, mulai dari pengeluaran, tabungan hingga kiriman uang untuk orang tua Memberikan kepercayaan dan kebebasan penuh pada saya untuk menggunakan uang hasil jerih payahnya. Menjadikan saya manajer akan segala kebutuhannya dari pakaian dalam hingga sepatu futsal dan jam tangan :-D

Pria tidak romantis yang tidak pernah memberikan saya kejutan ataupun seikat mawar merah ketika hari ulang tahun saya ataupun hari jadi pernikahan kami, namun kejutan-kejutan kecilnya di hari hari biasa kadang lebih membuat saya berbunga-bunga. Yang membuat kami melewatkan sunset yang indah di Jimbaran, Bali karena belum menemukan masjid/ musholla untuk tempat sholat magrib kami.

Ayah terhebat untuk anak (anak) kami. Begitu telaten mengganti popok ataupun memandikan Nadya ketika masih bayi yang membuatnya di mata saya terlihat begitu macho dan seksi :-D. Ayah yang suaranya terdengar begitu merdu ketika mengaji dan bernyanyi untuk buah hati kami.

Anak yang berbakti, tak pernah tega untuk menolak apapun permintaan orang tua kami. Sesulit apapun itu, selalu berusaha ia penuhi.

Suami  yang saya hormati, cintai, yang saya rindukan setiap hari,  yang kepulangannya selalu saya nanti.

Alhamdulillah hirobbil 'alamiin atas kesehatan dan keselamatan selama setahun kemarin.

Selamat memasuki usia baru, mas.
Semoga menjadi  pribadi yang lebih baik, hamba Allah yang semakin taat, anak yang selalu berbakti, suami dan ayah yang tak pernah berhenti membimbing dan mencintai.

-Dian-

02 Februari 2015

Nadya di Negeri Laskar Pelangi

Meski suami bekerja di Pulau Belitung, saya jarang sekali kesana sejak nadya lahir. Nadya bahkan belum pernah sekali pun mengunjungi negeri laskar pelangi ini. Karena kemaren ada long weekend  libur hari natal, saya dan suami memutuskan untuk menghabiskan waktu di belitung saja, sekalian mengajak nadya liburan dan memperkenalkan nadya ke tempat dimana ayahnya bekerja. 

Hampir tiga tahun sejak saya terakhir mengujungi Pulau ini di bulan februari tahun 2012. Pulau ini terasa lebih ramai dibanding terakhir kali saya kesana, Entah karena ini memang sedang liburan atau memang pulau ini mulai banyak dinikmati pelancong. Suami yang sejak dua minggu sebelumnya mencari penginapan, kesulitan, karena rata-rata full booked. Sebenarnya, kami ingin meginap di bukit berahu karena penginapan ini memiliki fasilitas yang baik dengan view yang indah. Sayang, sudah full booked  hingga awal Januari 2015.

Ini kali pertama kami membawa nadya tavelling, full selama 4 hari 3 malam berada di hotel. Membawa nadya tentu berbeda dibandingkan ketika kami pergi berdua saja. Pernah dulu kami berencana untuk travelling membawa nadya ketika ia berusia 8 bulan. Namun setelah kami pikirkan kembali, saya agak khawatir dengan kebutuhan makanan nadya, saya khawatir akan asupan gizinya tidak terpenuhi selama perjalanan. Makanan pendamping susu nadya selalu saya buat sendiri dan waktu itu, gigi nadya belum tumbuh sempurna sehingga saya membutuhkan semua peralatan food processor untuk mebuat makanannya. Dan tetntunya buat saya, itu rempong, ciyyynnnn :-D. .Nah di usianya yang sudah menginjak 23 bulan ini, dengan gigi yang tumbuh hampir sempurna, tidak perlu ada segala macam peralatan perang dan makan di restoran pun telah kami izinkan. Selanjutnya  selain makan, kami harus memikirkan tempat tinggal selama disana. Ayah nadya tinggal di mess yang berisi beberapa pegawai kantor sehingga kami harus menginap di hotel. Hotel yang dicari harus akomodatif terhadap kebutuhan nadya, mulai dari air panas, air bersih, kamar mandi, kenyamanan de el el, de es be. Kami sebenarnya ingin mencari hotel tepi pantai, namun satu-satunya hotel tepi pantai yang fasilitasnya baik dan harganya masuk akal untuk kami adalah Bukit Berahu, namun sudah full booked. Suami sempat mencari penginapan di tepi pantai Tanjung Kelayang, namun sepertinya fasilitas air bersihnya kurang terakomodasi. Akhirnya, kami memutuskan menginap di hotel di Tanjung Pandan dimana fasilitas lebih terjamin. Selain itu, pakaian  dan toiletries yang dibawa pun sudah harus dipikirikan dari awal, saya membawa pakaian dan keperluan Nadya 3-4 kali lipat dari keperluan saya sendiri karena tentu saja kenyamanan dirinya menjadi prioritas utama.

Dan Alhamdulillah, nadya begitu menikmati Belitung bersama kami. Ia menikmati pantai, laut, pasir, bebatuan, ombak, air, angin, langit, bukit, museum, fosil, ikan, makanan dan perjalanan. Tak ada rewel, tak ada tangis. Yang ada hanya takjub dan terpana akan semua hal baru yang disaksikannya. Ia bertelanjang kaki berlari-lari di atas pasir yang begitu lembut dan bermain air, tertawa setiap kali melihat ombak dan riak ombak itu menyentuh kaki-kaki kecilnya, menikmati semilir angin laut yang menrpa wajah dan rambutnya. Ah, saya bahagia mengetahui bahwa ia gembira.

Kami sempat menghabiskan sore di Pantai Tanjung Kelayang, menikmati senja dan semburat merah yang membuat langit terlihat begitu indah dan kembali lagi keesokan paginya demi menikmati sarapan pagi dan teh bersama sambil mendengarkan suara ombak. Kami pun berkesempatan untuk menyaksikan begitu besar dan gagahnnya bebatuan yang ada di pantai Tanjung Tinggi,  bermain pasir bersama menikmati tenangnya suasana sore pantai Tanjung Binga, menikmati pemandangan laut dari atas bukit berahu dan naik-turun bukit yang membuat betis serasa mau lepas. Untung Nadya digendong ayahnya, saya jadi iri, hehehehehe. Ah, ciptaanmu ya Allah, tak ada yang bisa menandingi.

Tak hanya pantai, Nadya juga menikmati setiap hal yang ditemuinya. Museum Kata Andrea Hirata, SD Muhammadiyah Gantong, poster, buku-buku, sepeda jadul, ruang kelas, papan tulis, bangku sekolah, kopi, tungku bahkan pasir di halaman sekolah. Saya dan ayahnya mengajaknya duduk di bangku sekolah yang terbuat dari kayu dan bernyanyi bersama di ruang kelas menyanyikan lagu andalannya. Ia berputar-putar melewati koidor diantara bangku- bangku, terpana melihat papan tulis kapur hitam, lemari piala, dan meja guru. Tak ada hal yang biasa baginya, semua istimewa.

Pagi hari terakhir di Belitung, kami kembali menuju  pantai bahkan sebelum hari terang untuk menikmati pagi. Dan Nadya tetap terpana, tetap kagum setiap kali melihat ombak berkejaran, tetap tertawa bila riak ombak itu menyentuh kaki-kaki kecilnya. Sarapan pagi di pantai terasa begitu istimewa. Makan nasi goreng seafood dan indomie kuah sambil menyeruput air teh bersama orang-orang terkasih. Nadya menikmati setiap tegukan teh yang kami berikan kepadanya. Hari terakhir bersama di belitung ini terasa begitu indah.
 
Tetaplah mencinta akan semua keindahan Yang Maha Pencipta, sayang. 
Tetaplah memuja pada semua lukisan-Nya. 
Tetaplah mencinta dan  memuja  semesta,  meski dunia tak lagi terpana.































-Dian, a mother, A wife,  forever a traveller wanna be-

19 Januari 2015

Kue, Romantisme Ulang Tahun, dan Media Sosial

Suami adalah laki-laki yang tidak bisa dikategorikan romantis jikalau standar keromantisan di jagad raya ini diukur dengan seberapa sering ia memberikan kejutan dan seberapa banyak tangkai bunga mawar di hari ulang tahun saya ataupun di hari jadi pernikahan kami atau berapa banyak posting kata-kata cinta nya di wall facebook saya :-D.  He'll be the most unromantic person in the world. 

Seingat saya, tiga tahun lebih pernikahan kami tak pernah ada ritual ataupun kado yang berlebihan. Tidak ada bunga-bunga bertebaran di kamar, kue ulang tahun dengan topping cantik diatasnya, ataupun kado mahal berdigit jut-jut apalagi ucapan selamat ulang tahun penuh cinta  terpampang nyata di wall facebook:-D. Suami hanya menelpon karena kami memang berjauhan, serta tak ada kiriman kue ataupun hadiah. Ketika saya menginginkan sesuatu yang sedikit mahal, suami hanya menyuruh saya mengecek uang di rekeningnya  apakah ada kelebihan setelah dikurangi kebutuhan-kebutuhan primer dan  untuk tabungan. Jika ada, boleh. Jika tak ada mari kita tunggu sampai ada :-D.

Setelah menikah, suami memberikan kepercayaan dan kebebasan penuh kepada saya untuk mengatur penghasilannya. Membeli semua kebutuhannya mulai dari pakaian dalam hingga sepatu futsal, mengirim uang untuk orang tua, menyisihkan untuk tabungan, membeli tiket untuk kepulangannya. Setelah semuanya terpenuhi dan tentu saja terutama kebutuhan makan dan asupan suami di pulau seberang dan seabrek kebutuhan nadya terpenuhi, saya diperbolehkan membeli apapun yang saya inginkan :-D. Jadi, saya tidak perlu menunggu hari ulang tahun untuk mendapatkan apa yang sedang saya butuhkan atau inginkan. Meskipun tentu saja saya sadar betul bahwa tidak semua hal yang saya inginkan bisa terpenuhi.

Sebenarnya, bukan tidak ada sama sekali niat dan bukannya kami tidak ingin merayakannya. Hanya saja, kami berdua sama-sama berasal dari keluarga yang termasuk biasa saja dalam menghadapi semua jenis anniversary- anniversary-an. Sejak kecil, di rumah tidak pernah ada ritual membeli kue, membuat tumpeng, meniup lilin, pesta ulang tahun atau apapun jenisnya. Ketika hari ulang tahun tiba, ibu dan ayah saya hanya mengucapkan selamat atas bertambahnya umur, mengecup pipi dan selesai. Kadang-kadang kami keluar untuk makan di restoran, namun itu tidak menjadi keharusan atau pasti dilakukan. Hal hal semacam makan di luar itu pun bertujuan lebih kepada untuk menyenangkan hati kami yang masih anak-anak. Itu saja.

Ketika sudah menikah, masing-masing dari kami membawa budaya yang sama bahwa tidak ada perayaan di hari kelahiran. Hal-hal romantis semacam kejutan-kejutan, lilin-lilin, kue ulang tahun, bunga de el-e, de es be, tidak pernah kami lakukan. Suami lebih sering memberi kejutan-kejutan kecil dan kado tak terduga di hari-hari biasa, tak ada angin, tak ada hujan, tak ada bulan-bulan spesial.  Meski  di hari-hari biasa, hal hal kecil itu kadang membuat hari menjadi istimewa.

Namun, menjadi  seorang istri dan ibu muda di era sekarang, begitu banyak hal yang saya lihat, karena semua orang berbagi semua hal.  Mulai dari percakapan sehari-hari, makan apa, pergi kemana, lagi apa. Everything is shared. Saya sendiri termasuk salah satu yang suka berbagi meski tidak sampai ke percakapan-percakapan sehari-hari dan pribadi. Sebenarnya, apapun itu, membagi obrolan, kemesraan dengan pasangan, foto-foto selfie, menurut saya sah-sah saja dan tidak ada yang salah. Selama kita bahagia dan selama kita tidak diluar batas, tidak melanngar hukum, mengganggu atau menyinggung perasaan orang lain, lakukanlah. 

Media sosial ini membuat nilai-nilai yang  semasa kecil tertanam di rumah tentang ulang tahun  sedikit banyak bergeser. Saya dan suami kadang saling memberi kado, kado ala kadarnya. Tidak mahal dan tidak wah, tidak juga ada  surprise party. Dan dari media sosial ini juga saya sering tergoda melihat begitu lucu dan cantiknya kue-kue ulang tahun yang ada.  Melihat kue-kue ulang tahun yang begitu cantik, saya kadang kepingin juga. Meski sampai saat ini, saya dan suami belum pernah membeli satu pun kue ulang tahun semacam itu. Sebenarnya saya pernah meminta, dan suami mengizinkan. Namun, ketika mendekati hari H, saya sendiri yang membatalkan niat itu. Dengan harga kue yang tidak murah seperti itu, rasanya kok ya mubazir, lebih baik membeli makanan lain, yang jelas,  pasti dimakan dan habis, pempek atau martabak misalnya. Jadilah, niat membeli birthday cake itu tidak pernah terlaksana. 

Sejak ada Nadya dan sejak menjadi pengguna android pertengahan tahun 2013, niat kue ulang tahun ini kembali menggebu-gebu. Godaan tidak hanya datang dari facebook dan blog. Ada instagram yang membuat tampilan foto lebih menarik dan cantik.  Saya benar-benar  tidak tahan melihat topping-topping lucu itu. Sepertinya nadya akan senang dengan kue ulang tahunnya, sepertinya akan lucu dan cantik jika di foto dan di posting di socmed :-D Ah, saya benar-benar tergoda. Ulang tahun pertama Nadya, saya masih bisa menahan diri. Dan ulang tahun Nadya yang ke dua tinggal hitungan hari, sepertinya saya tak bisa menahan diri lagi :-D .



-Dian, a mom craving for a birthday cake-


17 Januari 2015

Menuju Dua Tahun

04 Januari 2014, Hanifa Ahsanu Nadiyya kami genap berusia 23 bulan.  Satu bulan menuju usia dua tahun. Usia seorang anak tidak lagi dikategorikan sebagai bayi. Usia dimana  umumnya proses penyapihan dimulai. Menuju dua tahun pula sejak saya menyandang status baru sebagai seorang Ibu. Dan menuju dua tahun pula sejak terakhir kali saya merasa berada di hari-hari tersulit dalam hidup.

Alhamdulillah hirobbil 'alamin. Rasa syukur kami begitu membuncah, Allah begitu baik, begitu pengasih dan begitu penyayang kepada Nadya. Banyak hal terbaik yang kami, tidak dapat sepenuhnya berikan kepadanya. ASI yang sudah terhenti sejak Nadya menginjak usia 6 bulan, saya yang working mom, meninggalkannya lima hari dalam seminggu untuk bekerja dan  Ayah yang tidak dapat setiap hari ditemuinya. Hanya kepada Allah, melalui nenek dan pengasuhnya, kami mempercayakan penjagaan setiap detik untuknya.

Ketika saya hamil dan menyandang predikat calon  ibu baru, ibu muda dan ibu yang belum memiliki banyak pengalaman namun  tentu saja ibu masa kini yang melek teknologi dengan akses internet hanya sejauh satu sentuhan tangan, saya banyak mencari informasi tentang seluk beluk penanganan bayi melalui media online bermodalkan mesin pencari ajaib bernama Google. Dari mulai tips melahirkan, menyusui, penyimpanan ASIP de el el de es be khatam saya baca. Ikut grup sana-sini, bertanya sana-sini, bercita-cita menjadi Ibu idealis yang akan memberikan minimal 2 tahun ASI walaupun tetap sambil bekerja. Rencana terasa begitu matang, ilmu saya terasa cukup untuk menghadapi persalinan dan alat perang pun telah dipersiapkan. Rencana tinggal rencana, ketika semuanya tidak berjalan sesuai apa yang saya harapkan, saya menyadari bahwa teori, ilmu, alat, dan semua persiapan yang ada adalah hanya media, media kita untuk berikhtiar, pada akhirnya semua kembali kepada yang Maha Berkehendak.

Mulai dari rencana melahirkan normal yang tidak terlaksana, hingga dua minggu setelah melahirkan, saya masuk rumah sakit dan harus di bedah kembali. Empat selang terpasang. Selang infus ditangan, selang kateter terpasang dan entah apa nama dua  selang lain yang berada tepat di pinggul saya, dan didalam tubuh saya yang menghubungkan ginjal ke kandung kemih, saya tak mau tau, terlalu ngeri untuk mengetahui apa fungsinya. Belum juga masuk bekerja, saya sudah tidak dapat menyusui bayi saya dengan sempurna. Nadya pun "tercemar" susu formula sejak bulan pertama dan saya tak punya daya. Dan ah, mohon maaf, donor ASI tidak menjadi pilihan kami dengan berbagai pertimbangan.

Dan terpuruk lah saya. Kala itu saya merasa berada pada masa tersulit. Meski suami menemani, menguatkan, melakukan apapun demi saya, orang tua membei support, keluarga mendoakan, saya tetap merasa begitu jatuh. Buyar sudah semua angan-angan tentang menyusui, ASI ekslusif S1, S2 , S3 dan segala macamnya.

Ditengah jatuh dan terpuruknya saya, saya melihat Nadya. Bayi mungil dan rapuh ini begitu kuat. Di usianya yang baru hitungan hari, yang masih begitu butuh belaian dan kasih sayang, butuh ASI, harus terpisah dengan ibu yang baru saja melahirkannya. Tiba-tiba saya merasa malu. Bukan, seharusnya bukan ini yang saya pikirkan, seharusnya bukan segala tetek bengek harus ASI ekslusif, bukan tentang gagalnya saya menjadi ibu yang baik yang harus saya sesali. Tapi tentang dia, tentang bayi ini, tentang bagaimana usaha kami membesarkannya, memberinya kenyamanan, melindunginya, memnuhi kebutuhannya di tengah segala ujian yang diberikan Allah kepada kami ini.

Tidak ada ASI kala itu, dan rasa syukur saya semakin besar kepada-Nya. Ditengah kepercayaan saya bahwa susu formula adalah hal yang berbahaya untuk bayi, saya hanya bisa pasrah untuk kemudian menjadikan "susu sapi" sebagai makanan utama Nadya ketika itu. Allah memberikan kemudahan dan pertolongan kepada kami lewat susu formula. Ya, lewat susu formula.

Jangan salah paham kepada saya, saya tidak pernah menjadi seorang Ibu yang memuja susu formula dan menyamakannya dengan ASI. Hingga detik ini pun, tidak.  Sekali lagi percayalah bahwa saya tidak pernah menganggap bahwa Susu Formula sama baiknya apalagi lebih baik dari ASI. Jikalau pun nanti kami kembali di beri Allah rezeki anak ke dua, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengulangi hal yang sama dengan yang terjadi pada Nadya. Namun seperti yang saya telah katakan sebelumnnya, bahwa sekeras apapun usaha kita, semuanya kembali kepada Allah yang maha berkehendak. Dan Allah memberikan kami banyak kemudahan di tengah- tengah kesulitan. Dan saya bersyukur atas apapun media atau alat bantu ataupun perantara yang Allah kirirmkan kepada kami.

Alhamdulillah hirobbil 'alamiin. Meski bukan dengan ASI ekslusif, meski "tercemar" susu formula sejak bulan pertama.. Nadya tumbuh dengan baik. Tidak ada masalah berarti pada dirinya hampir dua tahun ini dan doa saya setiap harinya selalu tercurah untuk kesehatan dan keselamatan dirinya untuk hari ini, maupun di masa mendatang. Nadya tumbuh dengan baik dan tidak memiliki permasalahan dalam perkembangan motorik. Dia tengkurap di usia 3 bulan 1 minggu, mulai bertopang pada lutut di usia belum genap 5 bulan dan  merangkak di usia belum genap 6 bulan. Dan di usianya 11 bulan 5 hari, Nadya sudah mampu melangkahkan kaki tanpa merambat ataupun ditatah.

Berat badan dan tinggi seimbang, tidak pernah melewati standar yang ditetapkan departemen kesehatan di buku KMS yang saya dapat dari puskesmas, dan jikalaupun melewati dan tak sesuai standar, saya benar-benar  tak perduli selama dia tumbuh sehat.

Kemampuan berbicaranya termasuk sangat baik. Di usia yang belum genap dua tahun ini, sudah mahir merangkai dua-tiga kata. Motorik kasar berkembang pesat. Berlari, Melompat, menaiki tangga, menaiki sepeda. Motorik halus tak memiliki masalah, Nadya mahir menggunakan sendiok dan sudah bisa menyuap sendiri, minum dari sedotan, gelas dan botol, memegang bolpen ketika belum genap berusia  1,5 tahun serta menyusun balok, membolak balik satu per satu halaman buku dengan baik di usia 19 bulan. Tubuhnya kuat, pilek ataupun demam hanya sesekali. Sampai hari ini, alhamdulillah belum pernah diare dan mudah-mudahan, Insya Allah selalu sehat.

Dan di tengah banyak orang di luar sana yang "meremehkan" anak non ASI, saya begitu bersyukur bahwa Nadya tumbuh sebaik anak ASI, saya tidak bangga kepada diri saya akan hal ini, namun saya begitu bangga akan Nadya. Dia pintar, sehat cepat menyerap banyak hal. Dan segala puji syukur kami panjatkan hanya kepada Allah swt. Allah maha baik, maha pengasih, maha penyayang. Saya pernah merasa diberi Allah cobaan begitu besar. Ketika ibu baru lainnya sibuk dengan bayi mereka, saya berkutat dengan rumah sakit, ruang operasi, rontgen dan tes, dan obat-obatan dan segala macam alat yang terpasang di tubuh. Tubuh lemah karena dua luka operasi  besar yang masih basah, sempat beberapa minggu menggunakan kursi roda sebagai alat bantu karena diri tak mampu menopang berat tubuh.

Dan ini bukan karena saya, kami, susu formula ataupun ASI. Ini semua karena Allah, karena kemurahan-Nya. Bahwa Allah memberikan kemudahan di setiap kesulitan, bahwa Allah memberikan kebebasan bagi hambanya untuk berusaha sesuai syariatnya dan berdoa, namun semua hal terjadi atas kehendak-Nya. Ditengah kesulitan kami akan kesehatan saya, Allah memberikan kemudahan pengasuhan.

Hanya kepada Allah lah kami mohon perlindungan  untukmu di tahun tahun mendatang, Hanifa Ahsanu Nadiyya.

Dan untukmu anakku, doa ayah dan Ibu :
Jadilah manusia yang berilmu namun tak pernah memuja ilmu karena hanya Allah semata yang patut untuk dipunja.
Jadilah manusia berilmu namun jangan sombong karenanya, karena ilmu kita tak sebanding dengan kebesaran-Nya.


Sabtu, 17 Januari 2015 04.05 WIB
-Dian, seorang Ibu-



16 Januari 2015

Berdua Nadya Saja

Jadi pas libur panjang  desember kemarin, saya dan nadya  terbang ke Belitung  untuk liburan bersama si ayah. Karena ayah nadya memang bekerja di sana dan menunngu kedatangan kami, jadilah penerbangan ini kami lalui berdua saja. Ini pengalaman pertama buat saya terbang dengan pesawat transit  sendirian membawa seorang batita yang belum genap berusia dua tahun.

Sejak check-in, drama sudah dimulai. Ketika saya mengkonfirmasi bahwa saya membawa seorang infant, si masmas konter check-in meminta saya membawa nadya  untuk memastikan bahwa anak yang akan saya bawa adalah benar-benar  seorang infant. Ketika nadya saya bawa, si masmas  langsung menolak untuk mengkategorikan nadya sebagai seorang infant, meski saya sudah bermodal kartu keluarga yang berisi tanggal lahir nadya, si masmas tetep kukeuh nadya tidak dapat diketegorikan sebagai infant dan saya harus membayar sebesar 1,2 juta untuk tiket nadya. 

Alamak, 1,2 juta bukan duit receh, lumayan buat bayar hotel, lumayan buat beli tiket pulang. Saya benar-benar tidak  rela. Kalau seat yang saya beli terpakai dan nadya bisa duduk disana, saya tidak ada masalah untuk membayar. Lah, ini masih harus saya pegangin dan nadya pun kemungkinan besar tidak  akan mau duduk sendirian. Saya pun keukeuh tidak mau membayar. Namun  di detik-detik terakhir, saya mulai pasrah mau membayar tiket, saya sudah capek berargumen. Namun ternyata si tiket habis. Dan saya langsung bilang ke si masmas kalo saya tidak mau tahu, yang jelas saya harus berangkat sekarang dengan anak saya. Dan ternyata saya dapat dengan mudahnya lewat dan tak ada yang mempermasalahkan hingga kami pun sampai dengan selamat di Pangkal Pinang bahkan hingga sampai ke Tanjung Pandan.

Alhamdulillah, dramanya cuma sampai situ saja. nadya tidak rewel sama  sekali di perjalanan, tidak menangis, tidak minta digendong, tidak merengek-rengek. Saya benar-benar bersyukur kepada Allah dan berterimakasih kepada Nadya. Dia begitu senang berjalan-jalan sekeliling bandara yang alhamdulillah, tidak terlalu luas. Berputar kesana kemari, berlari-lari yang mana saya hanya perlu mengikutinya. Dan akhirnya Nadya terlihat mengantuk, meminta susu, minta dipangku sambil duduk dan akhirnya tertidur. Ah, nadya anak baik. Nadya terbangun ketika kami akan boarding menuju Tanjung Pandan dan ia sepertinya begitu menikmati perjalanannya kali ini. Dia tertawa, tersenyum kepada pramugari dan setiap orang  di pesawat yang menyapanya.

Membawa batita memang dibutuhkan persiapan ekstra. Saya pernah beberapa kali travelling sendiri ketika masih berstatus single, saya hanya butuh membawa backpack sedang dan satu tas kecil berisi peralatan kecil seperti handphone dan dompet. Namun membawa batita, persiapan 2-3 kali lebih banyak. Mulai dari toiletries, hingga baju ganti yang 3 kali lipat dari baju saya. Alhasil, 2 tas besar masuk ke bagasi dan satu diaper bag yang saya bawa masuk ke kabin. Isi diaper bag ini tentu tidak simpel, ada satu setel  pakaian ganti, 2 buah disposable diaper, mainan, air minum, susu kotak, tisu kering, tisu basah dan cemilan. Semua untuk mengantisipasi  hal yang bisa saja terjadi selama di perjalanan.

Dan alhamduliillah, semua berjalan lancar, 2 popok cukup, satu terpakai karena memang saya liat sudah cukup penuh, satu lagi untuk antisipasi kalau nadya poop di perjalanan dan itu tidak terjadi. Cemilan masih utuh karena nadya sibuk berputar-putar di bandara dan tidak ingin makan, hanya beberapa kali minum  dan meminta susu ketika dia mengantuk.

Ketika perjalanan pulang dengan rute yang sama, saya sudah banyak belajar dari pengalaman sebelumnya. Saya tidak lagi rempong membawa cemilan, isi tas kabin saya tidak sekomplit ketika berangkat  dan terasa lebih ringan. Tidak ada cemilan, tidak ada mainan. Dan nadya sama seperti ketika perjalanan sebelumnya., begitu excited berkeliling di bandara, tertidur ketika sudah mnegantuk dan terbangun ketika pengumuman boarding. Sepanjang penerbangan kami berdua konser berduet menyanyikan medley lagu favoritnya : Topi saya bundar, cicak di dinding, burung kakak tua dan satu lagu baru, Kasih Ibu. Untunglah tak ada yang protes dan terganggu dengan suara-suara fals kami :-D. Nadya tetap menggemaskan di mata penumpang dan ia tetap tersenyum kepada beberapa penumpang yang menyapanya, dan kadang-kadang mengajak mengobrol. Himgga akhirnya kami sampai di bandara Sultan Mahmud Badaruddin, Nadya masih terus bernyayi :

Topi saya bundar, Bundar Topi saya
Kalau tidak Bundar
Bukan topi saya


Ah, saya begitu bangga kepada nadya. She's a traveller to-be. Perjalanan naik pesawat ini mungkin akan menjadi terbang terakhirnya sebagai infant. Dan kami harus menabung lebih banyak untuk tiket-tiketnya di perjalanan-perjalanan mendatang (Insya Allah). Dan  si emak ini harus banyak-banyak menahan diri dari  belanja sana sini serta berlindung dari godaan online shop yang menguras dompet :-D

-Dian, proud mama of a traveller to be-