02 Oktober 2015

Fatimah Salsabila

           Satu bulan berlalu. Dan ini pertama kalinya saya merasa cukup tenang untuk bercerita, mengorek kembali keping-keping memori di kepala saya. Menulis tanpa derai air mata yang akan membuat bukan hanya mata, hidung namun baju saya pun ikut basah karenanya. Meski tentu, sesak akan selalu datang dengan sendirinya.

Hari itu mungkin akan menjadi salah satu hari yang tidak terlupakan dalam hidup saya. Hari dimana saya harus merelakan satu kehidupan di dalam rahim saya kembali kepada penciptanya, kembali kepada pemiliknya yang sesungguhnya.

Tengah malam itu, saya merasakan perut saya sakit meski sakitnya bukan tak tertahankan, saya hanya merasa sakit seperti saat datang bulan saya tiba. Saya belum membangunkan suami karena ia terlihat tidur pulas dengan raut lelah di wajahnya. Saya tahu ia begitu lelah, maka saya tak tega membangunkannya hanya untuk merengek atau minta dielus perut saya. Saya hanya membaca ayat-ayat dan do'a-do'a yang diajarkan ibu sambil terus mengelus perut saya dan menarik dan menghembuskan nafas untuk mengurangi rasa sakit.

            Sebenarnya rasa sakit yang saya rasakan tidak seberapa, saya masih bisa menahannya. Namun ada rasa kekhawatiran yang menyusup karena meski sakitnya tak seberapa dibandingkan dengan kontraksi saat saya melahirkan anak pertama,  saya tahu bahwa ini yang dinamakan kontraksi, rasa sakit yang datang dan pergi dengan jangka waktu yang cepat satu sama lain, yang menandakan bahwa sang bayi di dalam rahin ingin segera keluar,. Kekhawatiran yang sekuat mungkin saya halau. Ketika saya membangunkan suami sekitar puku 12 malam, ia berusaha tenang, meski saya tahu segala macam rasa bergejolak, kami berangkat ke rumah sakit ditemani ibu.

Ketika sampai di IGD, dokter langsung memeriksa detak jantung bayi, dan syukur alhamdulillah kami ucapkan kala itu bahwa jantungnya masih berdetak normal, namun saya harus tetap dirawat, untuk diperiksa dan bertemu dokter kandungan saya karena ada sedikit flek saat dokter jaga memeriksa. Di ruang kebidanan, dokter kandungan  memeriksa melalui mesin USG dan saat itulah saya merasa begitu shock, ketika dokter berkata bahwa air ketuban saya sudah kering dan bayi sudah berada di jalan lahir. Dokter memutuskan agar saya melahirkan saat itu juga. Saya sempat menangis dan menolak karena bayi saya masih hidup, jantungnya masih berdetak. Ibu dan suami bertanya apakah tidak bisa ditahan mengingat usia kandungan saya yanng baru 21 minggu. Dokter berkata tidak akan ada kemungkinan unuk naik lagi, karena sang bayi benar-benar sudah di jalan lahir dan air ketuban pun telah kering. Cepat atau lembat janin ini akan keluar dengan sendirinya. Saya hanya bisa menangis.

Untuk lebih memastikan, dokter melakukan pemeriksaan dalam dan berkata bahwa kepala sang bayi benar-benar sudah dibawah dan saya pun dibawa ke ruang tindakan. Saya pun dipersiapkan untuk melahirkan dengan ditemani suami saya. Mungkin ini adalah suasana melahirkan yang ideal jika saja ini terjadi 4 bulan ke depan ketika usia kandungan saya cukup bulan. Namun tetntu saja, kita tidak diperbolehkan untuk berandai-andai. Saya melahirkan dengan begitu cepat, hanya dua kali mengejan biasa, dan 29 agustus 2015 pukul 06.00 pagi, anak kedua kami pun lahir.. Saya belum diijinkan untuk melihat karena bayi saya perlu diberikan oksigen. Ia bernafas, meskipun nafasnya begitu lemah. Tak ada tangisan darinya, hanya tangis saya dan suami yang terdengar di ruangan itu. Tindakan kepada saya ternyata belum selesai, ari-ari yang masih begitu lengket di rahim harus dikeluarkan dengan dikuret, saya pun dibius.

Ketika sadar, saya melihat suami sudah duduk disamping saya dan berkata bahwa saya tidak boleh bergerak sedikit pun karena darah saya yang keluar ketika ari-ari dikuret cukup banyak. Saya menanyakan bayi kami, dan suami berkata bahwa bayi kami telah kembali kepada Sang Pemilik Kehidupan, dan ia hanya bertahan selama  1 jam. Innalillahi wa inna ilaihi rooji'un.

Meski sudah mengantisipasi kemungkinan tersebut, tak urung air mata saya meleleh. Kami memberinya nama, Fatimah Salsabila. Nama spontan yang muncul ketika kakak saya menyuruh kami untuk menamainya. Suami memberi nama Fatimah yang adalah  anak kesayangan Rasulullah dan Salsabila saya tambahkan karena saya pernah membaca bahwa ia berarti mata air surga. Fatimah akhirnya diperlihatkan kepada saya dalam keadaan sudah meninggal, hanya jasadnya yang saya peluk dan cium. Ia begitu kecil, hanya 380gram, namun fisiknya sudah lengkap, jari jemarinya pun telah membuka.

Tangis saya pun pecah.

Ya Allah, hanya sampai disini amanah ini Kau titipkan kepada kamii, ya Allah apakah dia merasa sakit ketika nafasnya berakhir, apakah ia merasa kesakitan ketika berada di rahim saya dengan kondisi air ketuban yang kering. Segala macam pikiran berkecamuk di kepala saya saat itu.  Dan itu adalah pertama dan terakhir kalinya saya menyentuh dan melihatnya. Perawat mengambil kembali Fatimah karena melihat saya menangis tak henti. Ketika pagi, suami pulang untuk memandikan, mengafani, menyolatkan dan memakamkan Fatimah di halaman rumah orang tua saya. Saya tetap di rumah sakit bersama Ibu. Alhamdulillah, pendaharahan saya tidak berlanjut meski dokter menyuruh untuk tranfusi satu kantong darah. Saya sudah sehat dan bisa pulang keeseokan harinya.

Dan satu bulan telah berlalu sejak hari itu.

 “Fatimah, mama sudah ikhlas, nak. Meski kadang mama begitu terharu setiap memompa air susu yang seharusnya untukmu, meski kadang air mata tak terbendung kala mengingatmu, meski kadang begitu banyak penyesalan di hati mama yang sebetulnnya tak perlu.”

Innalillahi wa inna ilihi rooji'un. Hanya itu kata-kata yang saya  pegang setiap kali saya merasa begitu sedih. Bahwa semua adalah milik Allah dan kepada Allah lah semua kembali. Dan sebagai manusia yang beriman saya percaya itu. Dan saya pun tahu bahwa Fatimah sudah berada di tempat yang jauh lebih baik daripada di rahim ibunya maupun di tempat yang hanya satu jam ia singgahi. Tempat dimana semua mahluk di dunia ingin berada, tempat indah yang dinamakan manusia sebagai Surga. Saya begitu berterimakasih dan mengucap ‘aamiin” atas semua doa-doa yang diucapkan, Do’a kepada saya agar segera sehat dan pulih maupun do’a agar kami segera mendapat pengganti. Meski bagi saya, jika nanti Allah kembali memberikan kepercayaan kepada kami untuk memiliki lagi titipann-Nya, ia bukanlah peganti, namun amanah lain dari Allah.

Fatimah takkan terganti. Ia bayi istimewa, bayi Surga, bayi yang telah memberikan banyak pelajaran kepada saya dan suami, pelajaran akan ikhlas dan sabar. Bayi yang memberikan kami motivasi untuk menjadi manusia yang lebih baik, hamba yang lebih taat, agar kami layak untuk diberi kembali amanah seorang anak dan pantas untuk menyandang predikat sebagai orang tua, di mata Allah SWT.

“Dan akhirnya, menjadi manusia-manusia yang pantas utnuk menemuimu, layak menjadi orangtuamu, menjadi manusia yang mampu men-sholehkan saudara-saudaramu, hingga kita bisa berkumpul bersama-sama,  di surga Allah kelak, Fatimah.”

Aamiin , ya robbal 'alamiin.....

02 Oktober 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar