21 Februari 2015

Monolog Kalbu dalam Sepotong Rindu

Tuhan menganugerahkan kepada saya sepotong rindu yang tak pernah beranjak dari sudut terdalam kalbu. Dan entah kapan saya bisa terbebas dari rasa yang-kata Melly Goeslaw, indah namun menyiksa. Memang benar bahwa bukan jarak yang mampu menumbuhkan cinta meski jarak mungkin mampu memudarkannya. Tiga tahun lebih kami menjaga hati satu sama lain agar cinta tetap tumbuh, berkembang, bersemi meski tak ada tatap muka antara kami di setiap hari dan tentu saja  ada ribuan kilometer dan bentangan permadani biru berwujud lautan  yang mesti ditempuh demi melepas sepotong rindu itu.  Sampai disini, saya masih mampu menikmati, satu hal yang teramat saya syukuri.

Ah, tentu saja saya tidak pernah sedikitpun berbahagia atas ketidakbersamaan kami secara harfiah ini. Demi apapun di dunia, tidak ada yang membuat seorang istri lebih berbahagia daripada  ketika berada di dekat sang suami. Tahukah kamu, bahwa begitu banyak hal yang saya ingin lakukan bersamanya dan begitu banyak hal yang ingin saya lakukan untuknya. Terlalu banyak yang saya lewatkan. Bahkan tidak ada satu kali dalam satu bulan saya bisa menyiapkan pakaian kerjanya.

Dan kamu tahu, saya bertahan. Entah apa, entah bagaimana. Saya hanya menikmati, apapun itu yang Tuhan telah takdirkan untuk saya tempuh dan saya temui sepanjang  perjalanan kehidupan ini. Bertemu dengannya adalah tentu salah satunya. Tidak ada yang ingin saya sesali bahkan saya tak mampu untuk itu. Tuhan telah begitu baik memberikan kepada saya jalan hidup yang begitu indah ini. Skenario-Nya begitu hebat hingga saya bahkan tak mampu untuk sedetikpun mengeluh ataupun menggerutu.

Saya bukannya tak pernah lelah berjibaku dgn rasa rindu, bukan pula saya tak pernah mengadu, saya hanya perempuan biasa dengan segala macam kodrat manusiawinya. Namun saya hanya ingin mensyukuri apapun yang terjadi. Meski do'a untuk sebuah kebersamaan dengan dirinya selalu terucap di akhir salam lima waktu saya, saya tak ingin menjadi seorang yang tak bersyukur meski itu hanya dengan sekedar gerutu atau sebaris-kalimat-galau-di-media-sosial yang tak bermutu.

Ya, kamu benar bahwa  saya sedang rindu, teramat rindu.

13 Februari 2015

Jilbab untuk nadya

Sampe hari ini, saya dan suami memang belum pernah memakaikan nadya jilbab/ kerudung/ hijab ketika kami keluar rumah secara konsisten. Saya hanya pernah  sesekali memakaikannya dan itupun memakai jilbab saya,  dipakai di rumah dan hanya untuk lucu-lucuan dan di foto. Nadya bahkan tidak memiliki koleksi jilbab bayi  karena saya memang tidak pernah membelikan




Saya sebenarnya suka ketika melihat bayi ataupun anak-anak mengenakan jilbab. Mereka terlihat lucu dan menggemaskan.  Namun ketika nadya masih begitu bayi, saya tidak tega melihatnya berjilbab, saya takut ia kepanasan dan tidak merasa nyaman, sehingga meski kepalanya botak karena rambut yang hanya tumbuh seuprit, saya tidak memakaikan apa pun di kepalanya. Bahkan memakai bando pun hanya sesekali. Begitupun ketika nadya menginjak usia 6 bulan, kami tidak memakaikan jilbab karena ia tidak menyukai apapun yang kami pakaikan di kepalanya. Entah itu bando, topi, jilbab atau apapun. Ketika kami memakaikan sesuatu di kepalanya, hal itu hanya akan bertahan selama hitungan detik, tangannya sibuk menarik-narik apapun itu hingga terlepas.


Untuk kami pribadi, menutup aurat bagi perempuan yang telah baligh adalah memang suatu kewajiban. Itu hal yang tak terbantahkan. Dan banyak yang berkata bahwa, anak-anak dapat dilatih sejak dini untuk mengenakan jilbab bahkan sedari si anak belum mencapai usia setahun. Saya tidak membantah hal tersebut karena memang apapun itu sebaiknya diajarkan sedini mungkin. Hanya saja, menurut kami, mengajarkan berjilbab belum lah perlu untuk anak di usia di bawah 3 tahun. Saya lebih menginginkan nadya melihat diri saya terlebih dahulu. Melihat ibunya mengenakan jilbab bila ke luar rumah, dibandingkan memakaikan jilbab itu kepadanya. Toh, nadya belum akil baligh, belum memiliki kewajiban untuk menutup auratnya. Meski begitu, saya tetap gemas setiap kali melihat bayi dan balita  mengenakan jilbab serta kagum kepada mereka juga kagum kepada kedua orang tua mereka yang sudah memperkenalkan jilbab sejak dini.



Memasuki usia dua tahun, nadya sudah tidak terlalu rewel bila kami memakaikan topi atau bando di kepalanya. Aksesoris kepala cukup lama bertahan, meski kadang-kadang ia masih risih dan membukanya sendiri. Ketika tepat berusia dua tahun tanggal 4 februari kemarin, kami memberi satu set mukena sebagai kado. Alhamdulillah ia suka dan langsung memakaninya untuk ikut sholat maghrib berjamaah dan bertahan hingga waktu isya. Kami menganggap ini sebagai langkah awal memperkenalkan menutup aurat kepada nadya.    Tentu kami akan memperkenalkan jilbab kepada nadya secara konsisten, tapi tidak sekarang, mungkin ketika ia memasuki usia tiga tahun, mungkin bisa lebih awal dan itupun tidak akan dilakukan sempurna. Mungkin ia masih memakai celana atau rok sebetis, mungkin ia masih memakai baju lengan pendek maupun ketiak yukensi. Hal ini hanyalah untuk memperkenalkan dan memberitahu nadya akan jilbab. Toh, masih ada cukup waktu hingga ia akil baligh dan memiliki kewajiban untuk menutup aurat dengan sempurna.


Semoga saya dapat memakai jilbab dengan lebih baik lagi dan memberikan contoh yang baik untuk nadya. Dan semoga kami diberi Allah swt. kemudahan dalam mengajarkan dan  memberi pengetahuan  tentang menutup aurat serta  mendidik nadya  untuk menutup aurat dengan baik dan benar..

Aamiin, aamiin ya robbal 'alamiin....
                                                                                                                                                                                                                                          

09 Februari 2015

a (not so) Common Family Photo session

We love taking pictures. Errrr, i mean, I love taking pictures :-D

So, everytime my husband comes home, I ask him to take family pictures. I bet he's already bored with all of this smiles and cheers in front of the camera :-D. But recently, seems like he's enjoying every single photo session  we have and gets more and more  photogenic than he was :-D

Nadya too, she hates people taking picture of her,  she always turns her face away or shows a sullen face whenever a camera  pointed to her. But  she loves posing  in front of  camera which is supported by tripod. She's so excited that she laughs and jumps happily when we do this photo session. She thinks that it's kinda game when we set the timer and rush  to the front of the lens to pose and see the result right after the blitz ends. She enjoys it so much and even  asks  "mama foto, ayah foto"  everytime she sees the tripod.

Once again, I love taking pictures. Photo album is just kinda pensieve for me where I can playback the memories. I love memories, I love looking back to our past photo and thinking how time does fly. Sometimes I smile and laugh  whenever I remember a good or fun times back then. I even bursts into tears   when I remember our hard times, but end up feeling so grateful that Allah has given us enough strength to face and pass it.

Somehow, we don't really like or need any special studio, though many times I am so tempted by those cute studio photographs on the social media.  Everywhere is a studio for us, even a garage door can be our backdrop :-D

Well, here's the results. Some of it might  be not a beautiful and artistic family pictures, but we had so much fun though.


























That's all

Psst, none of us had  taken a bath yet when those picts were taken....

-Dian, a memory lover-

04 Februari 2015

Tentang Seseorang

Seseorang yang telah memberi saya begitu banyak kebahagiaan selama lebih dari tiga tahun ini. Memberi saya begitu banyak cinta dan kasih sayang yang tak putus. Masih begitu jelas teringat di dalam otak saya ketika ia datang ke rumah pertama kalinya, menemui ayah dan ibu, menyatakan niat untuk menikahi anak perempuan mereka. Ada rasa hangat menyelusup meski saya tak pernah menduga niatnya secepat itu. Ibu dan ayah memberi restu. Alhamdulillah, 18 September 2011 terucap akad nikah di depan penghulu. 

Seseorang ini, yang penuh  dengan kesabaran tingkat tinggi menghadapi segala kemanjaan saya, tidak banyak menuntut akan segala kekurangan saya sebagai istri. Mengerti saya, mungkin tepatnya berusaha keras untuk mengerti saya  yang moody, gampang menangis dan emosional.

Dia pun mencemaskan saya, memperhatikan saya, merawat saya ketika saya terbaring lemah tanpa daya di rumah sakit. Satu bulan lamanya dengan empat selang di badan. Semua hal yang seharusnya saya mampu lakukan sendiri, diambil alihnya. Memandikan dan membersihkan seluruh tubuh saya, menyuapi saya makan, menyisir bahkan mengepang rambut saya meski tak rapi :-D, menggendong saya ketika saya bahkan tak mampu berdiri sendiri, meski ia tahu betapa beratnya tubuh pasca melahirkan itu :-D

Ah, dia yang dengan segala ke-tanpa-ekspresiannya- akan mendengarkan ketika saya marah, menangis, membiarkan saya mencurahkan segala uneg-uneg saya. Kemudian setelah semuanya selesai akan menatap saya, menghapus air mata saya dan mencium kening saya dan memeluk tubuh saya yang masih sesengukan sembari meminta maaf  dan memberi pengertian.

Satu-satunya laki-laki yang membuatkan saya akun Internet banking untuk rekening penghasilannya :-D. Mengangkat saya menjadi Dirjen Anggaran Rumah Tangga yang mengatur semua keuangannya, mulai dari pengeluaran, tabungan hingga kiriman uang untuk orang tua Memberikan kepercayaan dan kebebasan penuh pada saya untuk menggunakan uang hasil jerih payahnya. Menjadikan saya manajer akan segala kebutuhannya dari pakaian dalam hingga sepatu futsal dan jam tangan :-D

Pria tidak romantis yang tidak pernah memberikan saya kejutan ataupun seikat mawar merah ketika hari ulang tahun saya ataupun hari jadi pernikahan kami, namun kejutan-kejutan kecilnya di hari hari biasa kadang lebih membuat saya berbunga-bunga. Yang membuat kami melewatkan sunset yang indah di Jimbaran, Bali karena belum menemukan masjid/ musholla untuk tempat sholat magrib kami.

Ayah terhebat untuk anak (anak) kami. Begitu telaten mengganti popok ataupun memandikan Nadya ketika masih bayi yang membuatnya di mata saya terlihat begitu macho dan seksi :-D. Ayah yang suaranya terdengar begitu merdu ketika mengaji dan bernyanyi untuk buah hati kami.

Anak yang berbakti, tak pernah tega untuk menolak apapun permintaan orang tua kami. Sesulit apapun itu, selalu berusaha ia penuhi.

Suami  yang saya hormati, cintai, yang saya rindukan setiap hari,  yang kepulangannya selalu saya nanti.

Alhamdulillah hirobbil 'alamiin atas kesehatan dan keselamatan selama setahun kemarin.

Selamat memasuki usia baru, mas.
Semoga menjadi  pribadi yang lebih baik, hamba Allah yang semakin taat, anak yang selalu berbakti, suami dan ayah yang tak pernah berhenti membimbing dan mencintai.

-Dian-

02 Februari 2015

Nadya di Negeri Laskar Pelangi

Meski suami bekerja di Pulau Belitung, saya jarang sekali kesana sejak nadya lahir. Nadya bahkan belum pernah sekali pun mengunjungi negeri laskar pelangi ini. Karena kemaren ada long weekend  libur hari natal, saya dan suami memutuskan untuk menghabiskan waktu di belitung saja, sekalian mengajak nadya liburan dan memperkenalkan nadya ke tempat dimana ayahnya bekerja. 

Hampir tiga tahun sejak saya terakhir mengujungi Pulau ini di bulan februari tahun 2012. Pulau ini terasa lebih ramai dibanding terakhir kali saya kesana, Entah karena ini memang sedang liburan atau memang pulau ini mulai banyak dinikmati pelancong. Suami yang sejak dua minggu sebelumnya mencari penginapan, kesulitan, karena rata-rata full booked. Sebenarnya, kami ingin meginap di bukit berahu karena penginapan ini memiliki fasilitas yang baik dengan view yang indah. Sayang, sudah full booked  hingga awal Januari 2015.

Ini kali pertama kami membawa nadya tavelling, full selama 4 hari 3 malam berada di hotel. Membawa nadya tentu berbeda dibandingkan ketika kami pergi berdua saja. Pernah dulu kami berencana untuk travelling membawa nadya ketika ia berusia 8 bulan. Namun setelah kami pikirkan kembali, saya agak khawatir dengan kebutuhan makanan nadya, saya khawatir akan asupan gizinya tidak terpenuhi selama perjalanan. Makanan pendamping susu nadya selalu saya buat sendiri dan waktu itu, gigi nadya belum tumbuh sempurna sehingga saya membutuhkan semua peralatan food processor untuk mebuat makanannya. Dan tetntunya buat saya, itu rempong, ciyyynnnn :-D. .Nah di usianya yang sudah menginjak 23 bulan ini, dengan gigi yang tumbuh hampir sempurna, tidak perlu ada segala macam peralatan perang dan makan di restoran pun telah kami izinkan. Selanjutnya  selain makan, kami harus memikirkan tempat tinggal selama disana. Ayah nadya tinggal di mess yang berisi beberapa pegawai kantor sehingga kami harus menginap di hotel. Hotel yang dicari harus akomodatif terhadap kebutuhan nadya, mulai dari air panas, air bersih, kamar mandi, kenyamanan de el el, de es be. Kami sebenarnya ingin mencari hotel tepi pantai, namun satu-satunya hotel tepi pantai yang fasilitasnya baik dan harganya masuk akal untuk kami adalah Bukit Berahu, namun sudah full booked. Suami sempat mencari penginapan di tepi pantai Tanjung Kelayang, namun sepertinya fasilitas air bersihnya kurang terakomodasi. Akhirnya, kami memutuskan menginap di hotel di Tanjung Pandan dimana fasilitas lebih terjamin. Selain itu, pakaian  dan toiletries yang dibawa pun sudah harus dipikirikan dari awal, saya membawa pakaian dan keperluan Nadya 3-4 kali lipat dari keperluan saya sendiri karena tentu saja kenyamanan dirinya menjadi prioritas utama.

Dan Alhamdulillah, nadya begitu menikmati Belitung bersama kami. Ia menikmati pantai, laut, pasir, bebatuan, ombak, air, angin, langit, bukit, museum, fosil, ikan, makanan dan perjalanan. Tak ada rewel, tak ada tangis. Yang ada hanya takjub dan terpana akan semua hal baru yang disaksikannya. Ia bertelanjang kaki berlari-lari di atas pasir yang begitu lembut dan bermain air, tertawa setiap kali melihat ombak dan riak ombak itu menyentuh kaki-kaki kecilnya, menikmati semilir angin laut yang menrpa wajah dan rambutnya. Ah, saya bahagia mengetahui bahwa ia gembira.

Kami sempat menghabiskan sore di Pantai Tanjung Kelayang, menikmati senja dan semburat merah yang membuat langit terlihat begitu indah dan kembali lagi keesokan paginya demi menikmati sarapan pagi dan teh bersama sambil mendengarkan suara ombak. Kami pun berkesempatan untuk menyaksikan begitu besar dan gagahnnya bebatuan yang ada di pantai Tanjung Tinggi,  bermain pasir bersama menikmati tenangnya suasana sore pantai Tanjung Binga, menikmati pemandangan laut dari atas bukit berahu dan naik-turun bukit yang membuat betis serasa mau lepas. Untung Nadya digendong ayahnya, saya jadi iri, hehehehehe. Ah, ciptaanmu ya Allah, tak ada yang bisa menandingi.

Tak hanya pantai, Nadya juga menikmati setiap hal yang ditemuinya. Museum Kata Andrea Hirata, SD Muhammadiyah Gantong, poster, buku-buku, sepeda jadul, ruang kelas, papan tulis, bangku sekolah, kopi, tungku bahkan pasir di halaman sekolah. Saya dan ayahnya mengajaknya duduk di bangku sekolah yang terbuat dari kayu dan bernyanyi bersama di ruang kelas menyanyikan lagu andalannya. Ia berputar-putar melewati koidor diantara bangku- bangku, terpana melihat papan tulis kapur hitam, lemari piala, dan meja guru. Tak ada hal yang biasa baginya, semua istimewa.

Pagi hari terakhir di Belitung, kami kembali menuju  pantai bahkan sebelum hari terang untuk menikmati pagi. Dan Nadya tetap terpana, tetap kagum setiap kali melihat ombak berkejaran, tetap tertawa bila riak ombak itu menyentuh kaki-kaki kecilnya. Sarapan pagi di pantai terasa begitu istimewa. Makan nasi goreng seafood dan indomie kuah sambil menyeruput air teh bersama orang-orang terkasih. Nadya menikmati setiap tegukan teh yang kami berikan kepadanya. Hari terakhir bersama di belitung ini terasa begitu indah.
 
Tetaplah mencinta akan semua keindahan Yang Maha Pencipta, sayang. 
Tetaplah memuja pada semua lukisan-Nya. 
Tetaplah mencinta dan  memuja  semesta,  meski dunia tak lagi terpana.































-Dian, a mother, A wife,  forever a traveller wanna be-