19 Januari 2015

Kue, Romantisme Ulang Tahun, dan Media Sosial

Suami adalah laki-laki yang tidak bisa dikategorikan romantis jikalau standar keromantisan di jagad raya ini diukur dengan seberapa sering ia memberikan kejutan dan seberapa banyak tangkai bunga mawar di hari ulang tahun saya ataupun di hari jadi pernikahan kami atau berapa banyak posting kata-kata cinta nya di wall facebook saya :-D.  He'll be the most unromantic person in the world. 

Seingat saya, tiga tahun lebih pernikahan kami tak pernah ada ritual ataupun kado yang berlebihan. Tidak ada bunga-bunga bertebaran di kamar, kue ulang tahun dengan topping cantik diatasnya, ataupun kado mahal berdigit jut-jut apalagi ucapan selamat ulang tahun penuh cinta  terpampang nyata di wall facebook:-D. Suami hanya menelpon karena kami memang berjauhan, serta tak ada kiriman kue ataupun hadiah. Ketika saya menginginkan sesuatu yang sedikit mahal, suami hanya menyuruh saya mengecek uang di rekeningnya  apakah ada kelebihan setelah dikurangi kebutuhan-kebutuhan primer dan  untuk tabungan. Jika ada, boleh. Jika tak ada mari kita tunggu sampai ada :-D.

Setelah menikah, suami memberikan kepercayaan dan kebebasan penuh kepada saya untuk mengatur penghasilannya. Membeli semua kebutuhannya mulai dari pakaian dalam hingga sepatu futsal, mengirim uang untuk orang tua, menyisihkan untuk tabungan, membeli tiket untuk kepulangannya. Setelah semuanya terpenuhi dan tentu saja terutama kebutuhan makan dan asupan suami di pulau seberang dan seabrek kebutuhan nadya terpenuhi, saya diperbolehkan membeli apapun yang saya inginkan :-D. Jadi, saya tidak perlu menunggu hari ulang tahun untuk mendapatkan apa yang sedang saya butuhkan atau inginkan. Meskipun tentu saja saya sadar betul bahwa tidak semua hal yang saya inginkan bisa terpenuhi.

Sebenarnya, bukan tidak ada sama sekali niat dan bukannya kami tidak ingin merayakannya. Hanya saja, kami berdua sama-sama berasal dari keluarga yang termasuk biasa saja dalam menghadapi semua jenis anniversary- anniversary-an. Sejak kecil, di rumah tidak pernah ada ritual membeli kue, membuat tumpeng, meniup lilin, pesta ulang tahun atau apapun jenisnya. Ketika hari ulang tahun tiba, ibu dan ayah saya hanya mengucapkan selamat atas bertambahnya umur, mengecup pipi dan selesai. Kadang-kadang kami keluar untuk makan di restoran, namun itu tidak menjadi keharusan atau pasti dilakukan. Hal hal semacam makan di luar itu pun bertujuan lebih kepada untuk menyenangkan hati kami yang masih anak-anak. Itu saja.

Ketika sudah menikah, masing-masing dari kami membawa budaya yang sama bahwa tidak ada perayaan di hari kelahiran. Hal-hal romantis semacam kejutan-kejutan, lilin-lilin, kue ulang tahun, bunga de el-e, de es be, tidak pernah kami lakukan. Suami lebih sering memberi kejutan-kejutan kecil dan kado tak terduga di hari-hari biasa, tak ada angin, tak ada hujan, tak ada bulan-bulan spesial.  Meski  di hari-hari biasa, hal hal kecil itu kadang membuat hari menjadi istimewa.

Namun, menjadi  seorang istri dan ibu muda di era sekarang, begitu banyak hal yang saya lihat, karena semua orang berbagi semua hal.  Mulai dari percakapan sehari-hari, makan apa, pergi kemana, lagi apa. Everything is shared. Saya sendiri termasuk salah satu yang suka berbagi meski tidak sampai ke percakapan-percakapan sehari-hari dan pribadi. Sebenarnya, apapun itu, membagi obrolan, kemesraan dengan pasangan, foto-foto selfie, menurut saya sah-sah saja dan tidak ada yang salah. Selama kita bahagia dan selama kita tidak diluar batas, tidak melanngar hukum, mengganggu atau menyinggung perasaan orang lain, lakukanlah. 

Media sosial ini membuat nilai-nilai yang  semasa kecil tertanam di rumah tentang ulang tahun  sedikit banyak bergeser. Saya dan suami kadang saling memberi kado, kado ala kadarnya. Tidak mahal dan tidak wah, tidak juga ada  surprise party. Dan dari media sosial ini juga saya sering tergoda melihat begitu lucu dan cantiknya kue-kue ulang tahun yang ada.  Melihat kue-kue ulang tahun yang begitu cantik, saya kadang kepingin juga. Meski sampai saat ini, saya dan suami belum pernah membeli satu pun kue ulang tahun semacam itu. Sebenarnya saya pernah meminta, dan suami mengizinkan. Namun, ketika mendekati hari H, saya sendiri yang membatalkan niat itu. Dengan harga kue yang tidak murah seperti itu, rasanya kok ya mubazir, lebih baik membeli makanan lain, yang jelas,  pasti dimakan dan habis, pempek atau martabak misalnya. Jadilah, niat membeli birthday cake itu tidak pernah terlaksana. 

Sejak ada Nadya dan sejak menjadi pengguna android pertengahan tahun 2013, niat kue ulang tahun ini kembali menggebu-gebu. Godaan tidak hanya datang dari facebook dan blog. Ada instagram yang membuat tampilan foto lebih menarik dan cantik.  Saya benar-benar  tidak tahan melihat topping-topping lucu itu. Sepertinya nadya akan senang dengan kue ulang tahunnya, sepertinya akan lucu dan cantik jika di foto dan di posting di socmed :-D Ah, saya benar-benar tergoda. Ulang tahun pertama Nadya, saya masih bisa menahan diri. Dan ulang tahun Nadya yang ke dua tinggal hitungan hari, sepertinya saya tak bisa menahan diri lagi :-D .



-Dian, a mom craving for a birthday cake-


17 Januari 2015

Menuju Dua Tahun

04 Januari 2014, Hanifa Ahsanu Nadiyya kami genap berusia 23 bulan.  Satu bulan menuju usia dua tahun. Usia seorang anak tidak lagi dikategorikan sebagai bayi. Usia dimana  umumnya proses penyapihan dimulai. Menuju dua tahun pula sejak saya menyandang status baru sebagai seorang Ibu. Dan menuju dua tahun pula sejak terakhir kali saya merasa berada di hari-hari tersulit dalam hidup.

Alhamdulillah hirobbil 'alamin. Rasa syukur kami begitu membuncah, Allah begitu baik, begitu pengasih dan begitu penyayang kepada Nadya. Banyak hal terbaik yang kami, tidak dapat sepenuhnya berikan kepadanya. ASI yang sudah terhenti sejak Nadya menginjak usia 6 bulan, saya yang working mom, meninggalkannya lima hari dalam seminggu untuk bekerja dan  Ayah yang tidak dapat setiap hari ditemuinya. Hanya kepada Allah, melalui nenek dan pengasuhnya, kami mempercayakan penjagaan setiap detik untuknya.

Ketika saya hamil dan menyandang predikat calon  ibu baru, ibu muda dan ibu yang belum memiliki banyak pengalaman namun  tentu saja ibu masa kini yang melek teknologi dengan akses internet hanya sejauh satu sentuhan tangan, saya banyak mencari informasi tentang seluk beluk penanganan bayi melalui media online bermodalkan mesin pencari ajaib bernama Google. Dari mulai tips melahirkan, menyusui, penyimpanan ASIP de el el de es be khatam saya baca. Ikut grup sana-sini, bertanya sana-sini, bercita-cita menjadi Ibu idealis yang akan memberikan minimal 2 tahun ASI walaupun tetap sambil bekerja. Rencana terasa begitu matang, ilmu saya terasa cukup untuk menghadapi persalinan dan alat perang pun telah dipersiapkan. Rencana tinggal rencana, ketika semuanya tidak berjalan sesuai apa yang saya harapkan, saya menyadari bahwa teori, ilmu, alat, dan semua persiapan yang ada adalah hanya media, media kita untuk berikhtiar, pada akhirnya semua kembali kepada yang Maha Berkehendak.

Mulai dari rencana melahirkan normal yang tidak terlaksana, hingga dua minggu setelah melahirkan, saya masuk rumah sakit dan harus di bedah kembali. Empat selang terpasang. Selang infus ditangan, selang kateter terpasang dan entah apa nama dua  selang lain yang berada tepat di pinggul saya, dan didalam tubuh saya yang menghubungkan ginjal ke kandung kemih, saya tak mau tau, terlalu ngeri untuk mengetahui apa fungsinya. Belum juga masuk bekerja, saya sudah tidak dapat menyusui bayi saya dengan sempurna. Nadya pun "tercemar" susu formula sejak bulan pertama dan saya tak punya daya. Dan ah, mohon maaf, donor ASI tidak menjadi pilihan kami dengan berbagai pertimbangan.

Dan terpuruk lah saya. Kala itu saya merasa berada pada masa tersulit. Meski suami menemani, menguatkan, melakukan apapun demi saya, orang tua membei support, keluarga mendoakan, saya tetap merasa begitu jatuh. Buyar sudah semua angan-angan tentang menyusui, ASI ekslusif S1, S2 , S3 dan segala macamnya.

Ditengah jatuh dan terpuruknya saya, saya melihat Nadya. Bayi mungil dan rapuh ini begitu kuat. Di usianya yang baru hitungan hari, yang masih begitu butuh belaian dan kasih sayang, butuh ASI, harus terpisah dengan ibu yang baru saja melahirkannya. Tiba-tiba saya merasa malu. Bukan, seharusnya bukan ini yang saya pikirkan, seharusnya bukan segala tetek bengek harus ASI ekslusif, bukan tentang gagalnya saya menjadi ibu yang baik yang harus saya sesali. Tapi tentang dia, tentang bayi ini, tentang bagaimana usaha kami membesarkannya, memberinya kenyamanan, melindunginya, memnuhi kebutuhannya di tengah segala ujian yang diberikan Allah kepada kami ini.

Tidak ada ASI kala itu, dan rasa syukur saya semakin besar kepada-Nya. Ditengah kepercayaan saya bahwa susu formula adalah hal yang berbahaya untuk bayi, saya hanya bisa pasrah untuk kemudian menjadikan "susu sapi" sebagai makanan utama Nadya ketika itu. Allah memberikan kemudahan dan pertolongan kepada kami lewat susu formula. Ya, lewat susu formula.

Jangan salah paham kepada saya, saya tidak pernah menjadi seorang Ibu yang memuja susu formula dan menyamakannya dengan ASI. Hingga detik ini pun, tidak.  Sekali lagi percayalah bahwa saya tidak pernah menganggap bahwa Susu Formula sama baiknya apalagi lebih baik dari ASI. Jikalau pun nanti kami kembali di beri Allah rezeki anak ke dua, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk tidak mengulangi hal yang sama dengan yang terjadi pada Nadya. Namun seperti yang saya telah katakan sebelumnnya, bahwa sekeras apapun usaha kita, semuanya kembali kepada Allah yang maha berkehendak. Dan Allah memberikan kami banyak kemudahan di tengah- tengah kesulitan. Dan saya bersyukur atas apapun media atau alat bantu ataupun perantara yang Allah kirirmkan kepada kami.

Alhamdulillah hirobbil 'alamiin. Meski bukan dengan ASI ekslusif, meski "tercemar" susu formula sejak bulan pertama.. Nadya tumbuh dengan baik. Tidak ada masalah berarti pada dirinya hampir dua tahun ini dan doa saya setiap harinya selalu tercurah untuk kesehatan dan keselamatan dirinya untuk hari ini, maupun di masa mendatang. Nadya tumbuh dengan baik dan tidak memiliki permasalahan dalam perkembangan motorik. Dia tengkurap di usia 3 bulan 1 minggu, mulai bertopang pada lutut di usia belum genap 5 bulan dan  merangkak di usia belum genap 6 bulan. Dan di usianya 11 bulan 5 hari, Nadya sudah mampu melangkahkan kaki tanpa merambat ataupun ditatah.

Berat badan dan tinggi seimbang, tidak pernah melewati standar yang ditetapkan departemen kesehatan di buku KMS yang saya dapat dari puskesmas, dan jikalaupun melewati dan tak sesuai standar, saya benar-benar  tak perduli selama dia tumbuh sehat.

Kemampuan berbicaranya termasuk sangat baik. Di usia yang belum genap dua tahun ini, sudah mahir merangkai dua-tiga kata. Motorik kasar berkembang pesat. Berlari, Melompat, menaiki tangga, menaiki sepeda. Motorik halus tak memiliki masalah, Nadya mahir menggunakan sendiok dan sudah bisa menyuap sendiri, minum dari sedotan, gelas dan botol, memegang bolpen ketika belum genap berusia  1,5 tahun serta menyusun balok, membolak balik satu per satu halaman buku dengan baik di usia 19 bulan. Tubuhnya kuat, pilek ataupun demam hanya sesekali. Sampai hari ini, alhamdulillah belum pernah diare dan mudah-mudahan, Insya Allah selalu sehat.

Dan di tengah banyak orang di luar sana yang "meremehkan" anak non ASI, saya begitu bersyukur bahwa Nadya tumbuh sebaik anak ASI, saya tidak bangga kepada diri saya akan hal ini, namun saya begitu bangga akan Nadya. Dia pintar, sehat cepat menyerap banyak hal. Dan segala puji syukur kami panjatkan hanya kepada Allah swt. Allah maha baik, maha pengasih, maha penyayang. Saya pernah merasa diberi Allah cobaan begitu besar. Ketika ibu baru lainnya sibuk dengan bayi mereka, saya berkutat dengan rumah sakit, ruang operasi, rontgen dan tes, dan obat-obatan dan segala macam alat yang terpasang di tubuh. Tubuh lemah karena dua luka operasi  besar yang masih basah, sempat beberapa minggu menggunakan kursi roda sebagai alat bantu karena diri tak mampu menopang berat tubuh.

Dan ini bukan karena saya, kami, susu formula ataupun ASI. Ini semua karena Allah, karena kemurahan-Nya. Bahwa Allah memberikan kemudahan di setiap kesulitan, bahwa Allah memberikan kebebasan bagi hambanya untuk berusaha sesuai syariatnya dan berdoa, namun semua hal terjadi atas kehendak-Nya. Ditengah kesulitan kami akan kesehatan saya, Allah memberikan kemudahan pengasuhan.

Hanya kepada Allah lah kami mohon perlindungan  untukmu di tahun tahun mendatang, Hanifa Ahsanu Nadiyya.

Dan untukmu anakku, doa ayah dan Ibu :
Jadilah manusia yang berilmu namun tak pernah memuja ilmu karena hanya Allah semata yang patut untuk dipunja.
Jadilah manusia berilmu namun jangan sombong karenanya, karena ilmu kita tak sebanding dengan kebesaran-Nya.


Sabtu, 17 Januari 2015 04.05 WIB
-Dian, seorang Ibu-



16 Januari 2015

Berdua Nadya Saja

Jadi pas libur panjang  desember kemarin, saya dan nadya  terbang ke Belitung  untuk liburan bersama si ayah. Karena ayah nadya memang bekerja di sana dan menunngu kedatangan kami, jadilah penerbangan ini kami lalui berdua saja. Ini pengalaman pertama buat saya terbang dengan pesawat transit  sendirian membawa seorang batita yang belum genap berusia dua tahun.

Sejak check-in, drama sudah dimulai. Ketika saya mengkonfirmasi bahwa saya membawa seorang infant, si masmas konter check-in meminta saya membawa nadya  untuk memastikan bahwa anak yang akan saya bawa adalah benar-benar  seorang infant. Ketika nadya saya bawa, si masmas  langsung menolak untuk mengkategorikan nadya sebagai seorang infant, meski saya sudah bermodal kartu keluarga yang berisi tanggal lahir nadya, si masmas tetep kukeuh nadya tidak dapat diketegorikan sebagai infant dan saya harus membayar sebesar 1,2 juta untuk tiket nadya. 

Alamak, 1,2 juta bukan duit receh, lumayan buat bayar hotel, lumayan buat beli tiket pulang. Saya benar-benar tidak  rela. Kalau seat yang saya beli terpakai dan nadya bisa duduk disana, saya tidak ada masalah untuk membayar. Lah, ini masih harus saya pegangin dan nadya pun kemungkinan besar tidak  akan mau duduk sendirian. Saya pun keukeuh tidak mau membayar. Namun  di detik-detik terakhir, saya mulai pasrah mau membayar tiket, saya sudah capek berargumen. Namun ternyata si tiket habis. Dan saya langsung bilang ke si masmas kalo saya tidak mau tahu, yang jelas saya harus berangkat sekarang dengan anak saya. Dan ternyata saya dapat dengan mudahnya lewat dan tak ada yang mempermasalahkan hingga kami pun sampai dengan selamat di Pangkal Pinang bahkan hingga sampai ke Tanjung Pandan.

Alhamdulillah, dramanya cuma sampai situ saja. nadya tidak rewel sama  sekali di perjalanan, tidak menangis, tidak minta digendong, tidak merengek-rengek. Saya benar-benar bersyukur kepada Allah dan berterimakasih kepada Nadya. Dia begitu senang berjalan-jalan sekeliling bandara yang alhamdulillah, tidak terlalu luas. Berputar kesana kemari, berlari-lari yang mana saya hanya perlu mengikutinya. Dan akhirnya Nadya terlihat mengantuk, meminta susu, minta dipangku sambil duduk dan akhirnya tertidur. Ah, nadya anak baik. Nadya terbangun ketika kami akan boarding menuju Tanjung Pandan dan ia sepertinya begitu menikmati perjalanannya kali ini. Dia tertawa, tersenyum kepada pramugari dan setiap orang  di pesawat yang menyapanya.

Membawa batita memang dibutuhkan persiapan ekstra. Saya pernah beberapa kali travelling sendiri ketika masih berstatus single, saya hanya butuh membawa backpack sedang dan satu tas kecil berisi peralatan kecil seperti handphone dan dompet. Namun membawa batita, persiapan 2-3 kali lebih banyak. Mulai dari toiletries, hingga baju ganti yang 3 kali lipat dari baju saya. Alhasil, 2 tas besar masuk ke bagasi dan satu diaper bag yang saya bawa masuk ke kabin. Isi diaper bag ini tentu tidak simpel, ada satu setel  pakaian ganti, 2 buah disposable diaper, mainan, air minum, susu kotak, tisu kering, tisu basah dan cemilan. Semua untuk mengantisipasi  hal yang bisa saja terjadi selama di perjalanan.

Dan alhamduliillah, semua berjalan lancar, 2 popok cukup, satu terpakai karena memang saya liat sudah cukup penuh, satu lagi untuk antisipasi kalau nadya poop di perjalanan dan itu tidak terjadi. Cemilan masih utuh karena nadya sibuk berputar-putar di bandara dan tidak ingin makan, hanya beberapa kali minum  dan meminta susu ketika dia mengantuk.

Ketika perjalanan pulang dengan rute yang sama, saya sudah banyak belajar dari pengalaman sebelumnya. Saya tidak lagi rempong membawa cemilan, isi tas kabin saya tidak sekomplit ketika berangkat  dan terasa lebih ringan. Tidak ada cemilan, tidak ada mainan. Dan nadya sama seperti ketika perjalanan sebelumnya., begitu excited berkeliling di bandara, tertidur ketika sudah mnegantuk dan terbangun ketika pengumuman boarding. Sepanjang penerbangan kami berdua konser berduet menyanyikan medley lagu favoritnya : Topi saya bundar, cicak di dinding, burung kakak tua dan satu lagu baru, Kasih Ibu. Untunglah tak ada yang protes dan terganggu dengan suara-suara fals kami :-D. Nadya tetap menggemaskan di mata penumpang dan ia tetap tersenyum kepada beberapa penumpang yang menyapanya, dan kadang-kadang mengajak mengobrol. Himgga akhirnya kami sampai di bandara Sultan Mahmud Badaruddin, Nadya masih terus bernyayi :

Topi saya bundar, Bundar Topi saya
Kalau tidak Bundar
Bukan topi saya


Ah, saya begitu bangga kepada nadya. She's a traveller to-be. Perjalanan naik pesawat ini mungkin akan menjadi terbang terakhirnya sebagai infant. Dan kami harus menabung lebih banyak untuk tiket-tiketnya di perjalanan-perjalanan mendatang (Insya Allah). Dan  si emak ini harus banyak-banyak menahan diri dari  belanja sana sini serta berlindung dari godaan online shop yang menguras dompet :-D

-Dian, proud mama of a traveller to be-