Hari itu mungkin akan menjadi
salah satu hari yang tidak terlupakan dalam hidup saya. Hari dimana saya harus
merelakan satu kehidupan di dalam rahim saya kembali kepada penciptanya,
kembali kepada pemiliknya yang sesungguhnya.
Tengah malam itu, saya merasakan perut saya sakit meski sakitnya bukan tak tertahankan, saya hanya merasa sakit seperti saat datang bulan saya tiba. Saya belum membangunkan suami karena ia terlihat tidur pulas dengan raut lelah di wajahnya. Saya tahu ia begitu lelah, maka saya tak tega membangunkannya hanya untuk merengek atau minta dielus perut saya. Saya hanya membaca ayat-ayat dan do'a-do'a yang diajarkan ibu sambil terus mengelus perut saya dan menarik dan menghembuskan nafas untuk mengurangi rasa sakit.
Tengah malam itu, saya merasakan perut saya sakit meski sakitnya bukan tak tertahankan, saya hanya merasa sakit seperti saat datang bulan saya tiba. Saya belum membangunkan suami karena ia terlihat tidur pulas dengan raut lelah di wajahnya. Saya tahu ia begitu lelah, maka saya tak tega membangunkannya hanya untuk merengek atau minta dielus perut saya. Saya hanya membaca ayat-ayat dan do'a-do'a yang diajarkan ibu sambil terus mengelus perut saya dan menarik dan menghembuskan nafas untuk mengurangi rasa sakit.
Sebenarnya
rasa sakit yang saya rasakan tidak seberapa, saya masih bisa menahannya. Namun
ada rasa kekhawatiran yang menyusup karena meski sakitnya tak seberapa
dibandingkan dengan kontraksi saat saya melahirkan anak pertama, saya
tahu bahwa ini yang dinamakan kontraksi, rasa sakit yang datang dan pergi dengan
jangka waktu yang cepat satu sama lain, yang menandakan bahwa sang bayi di dalam
rahin ingin segera keluar,. Kekhawatiran yang sekuat mungkin saya halau. Ketika
saya membangunkan suami sekitar puku 12 malam, ia berusaha tenang, meski saya
tahu segala macam rasa bergejolak, kami berangkat ke rumah sakit ditemani ibu.
Ketika sampai di IGD, dokter
langsung memeriksa detak jantung bayi, dan syukur alhamdulillah kami ucapkan
kala itu bahwa jantungnya masih berdetak normal, namun saya harus tetap dirawat,
untuk diperiksa dan bertemu dokter kandungan saya karena ada sedikit flek saat
dokter jaga memeriksa. Di ruang kebidanan, dokter kandungan memeriksa
melalui mesin USG dan saat itulah saya merasa begitu shock, ketika dokter berkata bahwa air ketuban saya sudah kering
dan bayi sudah berada di jalan lahir. Dokter memutuskan agar saya melahirkan
saat itu juga. Saya sempat menangis dan menolak karena bayi saya masih hidup,
jantungnya masih berdetak. Ibu dan suami bertanya apakah tidak bisa ditahan
mengingat usia kandungan saya yanng baru 21 minggu. Dokter berkata tidak akan
ada kemungkinan unuk naik lagi, karena sang bayi benar-benar sudah di jalan
lahir dan air ketuban pun telah kering. Cepat atau lembat janin ini akan keluar
dengan sendirinya. Saya hanya bisa menangis.
Untuk lebih memastikan, dokter
melakukan pemeriksaan dalam dan berkata bahwa kepala sang bayi benar-benar
sudah dibawah dan saya pun dibawa ke ruang tindakan. Saya pun dipersiapkan
untuk melahirkan dengan ditemani suami saya. Mungkin ini adalah suasana
melahirkan yang ideal jika saja ini terjadi 4 bulan ke depan ketika usia
kandungan saya cukup bulan. Namun tetntu saja, kita tidak diperbolehkan untuk
berandai-andai. Saya melahirkan dengan begitu cepat, hanya dua kali mengejan
biasa, dan 29 agustus 2015 pukul 06.00 pagi, anak kedua kami pun lahir.. Saya
belum diijinkan untuk melihat karena bayi saya perlu diberikan oksigen. Ia
bernafas, meskipun nafasnya begitu lemah. Tak ada tangisan darinya, hanya
tangis saya dan suami yang terdengar di ruangan itu. Tindakan kepada saya
ternyata belum selesai, ari-ari yang masih begitu lengket di rahim harus
dikeluarkan dengan dikuret, saya pun dibius.
Ketika sadar, saya melihat
suami sudah duduk disamping saya dan berkata bahwa saya tidak boleh bergerak
sedikit pun karena darah saya yang keluar ketika ari-ari dikuret cukup banyak.
Saya menanyakan bayi kami, dan suami berkata bahwa bayi kami telah kembali kepada Sang Pemilik Kehidupan,
dan ia hanya bertahan selama 1 jam. Innalillahi wa inna ilaihi rooji'un.
Meski sudah mengantisipasi kemungkinan tersebut, tak urung air mata saya meleleh. Kami memberinya nama, Fatimah Salsabila. Nama spontan yang muncul ketika kakak saya menyuruh kami untuk menamainya. Suami memberi nama Fatimah yang adalah anak kesayangan Rasulullah dan Salsabila saya tambahkan karena saya pernah membaca bahwa ia berarti mata air surga. Fatimah akhirnya diperlihatkan kepada saya dalam keadaan sudah meninggal, hanya jasadnya yang saya peluk dan cium. Ia begitu kecil, hanya 380gram, namun fisiknya sudah lengkap, jari jemarinya pun telah membuka.
Tangis saya pun pecah.
Meski sudah mengantisipasi kemungkinan tersebut, tak urung air mata saya meleleh. Kami memberinya nama, Fatimah Salsabila. Nama spontan yang muncul ketika kakak saya menyuruh kami untuk menamainya. Suami memberi nama Fatimah yang adalah anak kesayangan Rasulullah dan Salsabila saya tambahkan karena saya pernah membaca bahwa ia berarti mata air surga. Fatimah akhirnya diperlihatkan kepada saya dalam keadaan sudah meninggal, hanya jasadnya yang saya peluk dan cium. Ia begitu kecil, hanya 380gram, namun fisiknya sudah lengkap, jari jemarinya pun telah membuka.
Tangis saya pun pecah.
Ya Allah, hanya sampai disini
amanah ini Kau titipkan kepada kamii, ya Allah apakah dia merasa sakit ketika nafasnya
berakhir, apakah ia merasa kesakitan ketika berada di rahim saya dengan kondisi air ketuban yang kering. Segala macam pikiran berkecamuk di kepala saya saat itu. Dan itu adalah pertama dan terakhir kalinya
saya menyentuh dan melihatnya. Perawat mengambil kembali Fatimah karena melihat
saya menangis tak henti. Ketika pagi, suami pulang untuk memandikan, mengafani,
menyolatkan dan memakamkan Fatimah di halaman rumah orang tua saya. Saya tetap
di rumah sakit bersama Ibu. Alhamdulillah, pendaharahan saya tidak berlanjut
meski dokter menyuruh untuk tranfusi satu kantong darah. Saya sudah sehat dan
bisa pulang keeseokan harinya.
Dan satu bulan telah berlalu sejak hari itu.
Dan satu bulan telah berlalu sejak hari itu.
“Fatimah, mama sudah ikhlas, nak. Meski kadang
mama begitu terharu setiap memompa air susu yang seharusnya untukmu, meski
kadang air mata tak terbendung kala mengingatmu, meski kadang begitu banyak
penyesalan di hati mama yang sebetulnnya tak perlu.”
Innalillahi wa inna ilihi rooji'un. Hanya itu kata-kata yang
saya pegang setiap kali saya merasa begitu sedih. Bahwa semua adalah
milik Allah dan kepada Allah lah semua kembali. Dan sebagai manusia yang
beriman saya percaya itu. Dan saya pun tahu bahwa Fatimah sudah berada di
tempat yang jauh lebih baik daripada di rahim ibunya maupun di tempat yang
hanya satu jam ia singgahi. Tempat dimana semua mahluk di dunia ingin berada,
tempat indah yang dinamakan manusia sebagai Surga. Saya begitu berterimakasih dan
mengucap ‘aamiin” atas semua doa-doa yang diucapkan, Do’a kepada saya agar
segera sehat dan pulih maupun do’a agar kami segera mendapat pengganti. Meski
bagi saya, jika nanti Allah kembali memberikan kepercayaan kepada kami untuk
memiliki lagi titipann-Nya, ia bukanlah peganti, namun amanah lain dari Allah.
Fatimah takkan terganti. Ia
bayi istimewa, bayi Surga, bayi yang telah memberikan banyak pelajaran kepada
saya dan suami, pelajaran akan ikhlas dan sabar. Bayi yang memberikan kami
motivasi untuk menjadi manusia yang lebih baik, hamba yang lebih taat, agar
kami layak untuk diberi kembali amanah seorang anak dan pantas untuk menyandang
predikat sebagai orang tua, di mata Allah SWT.
“Dan akhirnya, menjadi
manusia-manusia yang pantas utnuk menemuimu, layak menjadi orangtuamu, menjadi manusia yang mampu men-sholehkan saudara-saudaramu, hingga kita bisa berkumpul bersama-sama, di surga Allah kelak, Fatimah.”
Aamiin , ya robbal 'alamiin.....
Aamiin , ya robbal 'alamiin.....
02 Oktober 2015