Ini kisah perjalanan saya ketika muda dulu, ketika masih
gila-gilanya. Catatan ini saya buat di akhir Tahun 2010 namun belum
sempat diselesaikan dan dipublikasikan
Kisah ini terjadi pada pertengahan Tahun 2010, ketika saya pertama kali mendapatkan hak cuti tahunan saya.
Begini ceritanya :
Sedikit
nekat dan segenggam tekad ditambah secuil rencana, deskripsi singkat
yang pas untuk menggambarkan travelling saya kali ini.
Berangkat
sendirian dari Sultan Mahmud Badaruddin II. Pertama kalinya naek pesawat
setelah dua tahun dan sendirian! (tanda seru itu lebay cuy…hehe)
Berbagai
macam pesan dari Ibu melepas anak gadis satu-satu nya yang akan
berangkat menuju Pulau di seberang sana. Salah satu pesan itu berbunyi :
- Ibu : Jangan nyebur-nyebur ke laut, kamu nggak bisa berenang.
saya : Iya bu *cross finger*
(lha, jelas-jelas ini pulau terkenal dengan pantainya bagaimana mungkin tidak ada hasrat main air)
Baiklah, demi menenangkan hati sang Bunda tercinta, semua saya iya kan. Walaupun niat jahat dalam hati untuk melanggar semuanya
(ampuni gadismu ini, Ibu...)
45
menit terbang menuju Soekarno-Hatta yang berdiri megah di Ibukota. Tiga
jam transit saya manfaatkan dengan memutari bandara dengan memberinya
judul "exploring Soekarna-Hatta", padahal sebenernya cuma muter-muter
tanpa arah :-D
Sempat ngobrol dengan adik SMP yang menyarankan
saya agar membaca vivanews dot kom, cukup membuat saya merasa punya
teman seperjalanan ^^
Akhirnya, menit menit membosankan itu
terlewati tanpa terasa. Rahayu Fitri Purnama Sari, teman kost yang akan
menjadi teman setia sepanjang perjalanan pun tiba, pengumuman boarding dari mbak-mbak cantik di ujung microphone sana, dan pesawatpun mengudara.
1
Jam 45 menit di udara dan Selaparang sayup-sayup terlihat di ujung
sana. Selaparang tak seperti yang saya bayangkan. Bandara ini begitu
kecil, jangankan dibandingkan dengan Sokarno-Hatta, sebanding dengan SMB
II pun tidak. Tapi tetap tidak mengurungkan niat kami berdua untuk
bernarsis ria selama menunggu jemputan tiba.
Setelah
2 tahun tak bertemu, sahabat tercinta, saudara senasib seperjuangan
dalam berjuang menjadi aktivis kost dan tuan rumah yang tempat
bermukimnya akan kami jajah selama liburan ini datang menjemput. Saking
rindunya, demi melihat tubuh bulat itu tiba kalimat pertama yang saya
dan Jajuk ucapkan adalah "Ong, kamu makan apa???"
Sore itu juga bersama teman-teman BPK perwakilan Mataram, kami langsung diajak bersepeda motor ria menuju senggigi.
Speechless.
Itu
yang saya rasakan ketika pertama kali menginjakkan kaki di Pulau ini.
Saya seperti orang kampung yang pertama kali melihat sebuah kota.
Tak
sanggup berkata apa-apa, bahkan puluhan artikel referensi yang sudah
saya baca ketika merencanakan perjalanan ini hanya menggambarkan secuil
keindahan maha karya Tuhan yang tertangkap lensa mata, bahkan pocket camera yang saya bawa tidak pernah bisa sempurna menangkap keindahannya, atau mungkin saya memang fotografer amatiran :-D
Senggigi
di senja hari. Ah, begitu indah pemandangan ini. Terutama bagi saya
yang datang dari daerah yang cuma mengenal sungai musi :-).
Don’t get me wrong,
saya tetap bangga akan landmark kota saya itu. Jembatan Ampera yang
berdiri megah di atasnya bagi saya sudah seperti Goden Gate di San
Fransisco hahahahahaha. Hanya saja, pemandangan baru yang sebelumnya
hanya saya lihat di televisi atau di majalah-majalah ini tak bisa
dibandingkan dengan sungai musi yang saya cintai :-D
Matahari yang perlahan-lahan turun, memancarkan semburat merah keemasan diujung sana.
Ah, Cantiknya...
![]() | |
senggigi di senja hari |
Nyatanya, senggigi hanya kulit luarnya saja. Masih ada hasil karya Tuhan
lainnya yang akan membuat saya tak henti-hentinya berucap syukur dapat
menyaksikannya langsung.
![]() | |
Foto Gunung Rinjani |
Jangan
salah sangka, saya tidak sampai mendaki Dewi Anjani,
walaupun akan sangat terlihat begitu keren sekali kalau memang saya mendakinya :-)
walaupun akan sangat terlihat begitu keren sekali kalau memang saya mendakinya :-)
Itu
hanya gambar dari Pos Pendakian di kaki Gunung Rinjani yang kami
datangi, tepatnya berada di desa Senaru dan kesanalah kami berpetualang
di hari kedua.
Berangkat dari Mataram puku 09 pagi WITA, molor dari rencana awal yang maunya berangkat jam 07 pagi karena wanita-wanita ini tenyata adalah tukang tidur kelas kebo stadium tinggi.
Berangkat dari Mataram puku 09 pagi WITA, molor dari rencana awal yang maunya berangkat jam 07 pagi karena wanita-wanita ini tenyata adalah tukang tidur kelas kebo stadium tinggi.
Perjalanan menuju Senaru diisi dengan obrolan dan sesi
Budaya Nusantara dengan narasumber si Bapak Sopir yang ternyata adalah
orang Lombok asli.
Bagi masyarakat di Pulau Lombok, tidak
ada ceritanya anak gadis pergi berdua hingga melewati pukul 10 malam
bersama teman laki-lakinya. Bila itu terjadi, bersiap-siaplah untuk
segera dibawa ke hadapan penghulu dan mengucapkan janji suci pernikahan.
Namun kemudian, pada perkembangan selanjutnya, hal ini dimanfaatkan
bagi para sepasang kekasih yang tidak direstui untuk mencari celah agar
direstui.
Ritual ini sering dinamakan “penculikan”. Si
laki-laki berpura-pura menculik sang perempuan yang sebenarnya pergi
secara sukarela. Pada akhirnya mereka akan pulang dengan sendirinya dan
karena “penculikan” telah terjadi, mau tidak mau orang tua harus
merestui, bila tetap tidak direstui bersiap-siaplah untuk dibawa ke
pengadilan adat dan bersiap-siap pula menerima kenyataan bahwa sang anak
akan menjadi “tidak laku” karena sudah pernah dibawa oleh laki-laki
lain.
Hmmm, adat yang cukup unik. Saya sendiri tidak pernah terfikir untuk menikah dengan cara seperti itu hehehehehe.
Perjalanan
menuju Senaru memakan waktu lebih kurang 2 jam. Sepanjang perjalanan
saya tidak rela membiarkan mata ini terpejam. Pemandangan di luar sana
terlalu indah untuk diabaikan. Hutan-hutan tropis lebat diatas
perbukitan, sawah-sawah yang masih hijau terhampar luas, padang rumput
di beberapa bagian dan tentu saja laut lepas yang biru di sepanjang
sisinya. Bagaimana bisa saya membiarkan mata ini terpejam, walaupun rasa
kantuk kadang-kadang cukup menggoda kelopak mata.
![]() | |
Tiga Petualang |
Dan tahukah kalian bahwa lelah dan capek itu terbayar lunas setelah menyaksikan betapa terlihat megahnya Sindang Gile ini. Air terjun setinggi (haduh, saya agak goblok kalo soal estimasi ketinggian, yang jelas amat sangat jauh lebih tinggi dari tinggi badan saya yang hanya 149,5 cm ^^)
![]() | |
Air Terjun SIndang Gile |
Puas bermain air, foto-foto sana-sini.Tiga bidadari plus seorang bidadara yang di plot sebagai Fotografer ini pun bersiap kembali ke peradaban. Kembali mengarungi dakian dan turunan. Lelah dan capek itu ternyata baru terasa kemudian. Bahkan sepertinya menggerakkan tubuh pun serasa mengangkat beban berat.
Segera setelah bertemu makanan, kami pun refresh
kembali. Dan siap untuk perjalanan selanjutnya.Tidak sengaja ditengah
istirahat kami, kampung tersebut ternyata sedang mengadakan ritual acara
pesta pernikahan. Ritual ini cukup unik, mempelai perempuan diarak
berjalan kaki menuju ke rumah sang mempelai laki-laki. Bayangkan, betapa
capeknya pengantin perempuan ini. Masih mending jika rumah sang
pengantin laki-laki berada satu kampung dan hanya kelang satu-dua rumah
tapi bila kiloan meter jarak yang ditempuh? Make up luntur dan kaki
dengan high-heels di tumit bisa membuat betis kondean seketika.
Sungguh terlalu....

![]() | |
Arak-arakan Pengantin |
![]() | |
menampih sekam |
Arak-arakan selesai, keramaian bubar dan jalan pun terbuka lebar. Lelah membuat kami pun tertidur selama perjalanan pulang.
Oia, hampir lupa.
Malimbu.
mereka menyebutnya begitu.
Sore
hari, Matahari kembali ke peraduannya dengan begitu indah, meninggalkan
kami yang terpana menatap keanggunannya, menampilkan lukisan Tuhan yang
tak satu pelukis besar pun mampu menandinginya.



![]() | |
Pemandangan di Malimbu |
The Gilis
Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air. Tiga pulau kecil di Nusa Tenggara Barat yang (ternyata) begitu terkenal. Saya baru tw tentang ketiga pulau kecil yang terpisah dari Pulau Lombok itu setelah bertanya pada Om Google.
Gili Trawangan, pulau terbesar diantara tiga pulau kecil ini, yang mendapat kehormatan untuk kami datangi :-P. Selain memiliki akses yang paling mudah, cukup dengan menumpang public boat
seharga sepuluh ribu sekali menyebrang, Trawangan juga memiliki
fasilitas paling lengkap. Transportasi, penginapan, tempat penyewaan
peralatan snorkling dan diving tersedia lengkap.
Namun, jangan berharap untuk menemukan kendaraan bermotor disini.
Seperti yang telah banyak diceritakan oleh puluhan artikel yang dapat
ditemukan di Google search, Pulau ini bebas asap kendaraan
bermotor. Yang ada hanyalah kereta kuda sejenis delman yang disebut
cidomo dan sepeda yang tempat penyewaannya dapat dengan mudah ditemukan
disekitar Pulau.
Saya dan teman-teman akhirnya prefer
sepeda dibanding cidomo, sepeda lebih fleksibel digunakan, terserah kita
mau kemana tidak bergantung dengan si kuda dan kusirnya. Lagipula, saya
agak kurang tahan bau kudanya, lebih parah dari bau binatang yang saya
suka sekali kalo disate terutama digule :-D
Gili Trawangan memang cocok untuk di eksplore dengan sepeda. Kita bisa berhenti sesuka hati kita untuk mengambil gambar atau duduk sejenak menikmati hamparan laut biru nan luas. Turis asing dari berbagai negara pun banyak yang menyempatkan diri mengelilingi Trawangan dengan sepeda. Rata-rata mereka adalah turis Eropa namun ada pula satu-dua gadis-gadis dengan rambut lurus hitam bermata sipit yang saya temui sepanjang perjalanan. Pun ada yang mungkin dengan sengaja ke Pulau ini untuk sesi pengambilan foto kalender :-D, seperti dua bule Prancis ini:

Sehari
penuh kami habiskan di Pulau Indah ini. Setiap sudut Pulau adalah
godaan untuk bernarsis ria mengabadikan setiap pemandangan yang bahkan
sepuluh tahun sekali pun belum tentu bisa saya lihat dengan mata kepala
sendiri. Ketika senja mulai merambat, waktu untuk meninggalkan pulau
indah ini pun tiba. Sebenarnya, penginapan bertebaran disini, namun
harga semalam yang mencapai langit dan dapat membuat gaji tanggal satu
ludes di tanggal dua, niat yang tidak pernah ada itupun diurungkan.
Malamnya,
kami menikmati sajian khas Lombok, Ayam Taliwang dan Kangkung Pelecing.
Ayam Taliwang ini semacam ayam berbumbu pedas. Ayam yang digunakan
adalah ayam yang belum dewasa, kira-kira remaja-lah, dan disajikan utuh.
Dan Kangkung Pelecing, teman saya mengingatkan kalau kangkung ini bukan
main pedasnya dan dia khawatir kalo saya tidak akan tahan dengan
rasanya. Tapi, jangan bilang saya orang palembang . Dan benar saja,
rasanya tidak terlalu mengezutkan lidah saya yang memang kecanduan
makanan pedas. Namun rasa bumbunya cukup lezat, pantas saja makanan khas
Lombok yang aslinya berasal dari Kampung Taliwang ini diminati
wisatawan lokal maupun asing.
Ah, seharian menikmati keindahan alam diakhiri lezatnya panganan. Kami pun pulang dengan hati senang dan perut kenyang.
Mengelilingi
kota Mataram, menjadi agenda terakhir kami selama di Lombok. Tentu saja
tujuan utama adalah mencari buah tangan untuk dibawa ke kampung
halaman. Toko Arief menjadi persinggahan pertama kami untuk mencari
kaos-kaos bertema Pulau Lombok. Disini kita bisa mendapatkan kaos-kaos
dengan harga cukup murah berkisar Rp15.000 hingga Rp40.000 dan kami pun
dengan sedikit kalap membeli beberapa kaos, entah kepada siapa akan
diberikan. Selanjutnya, tentu saja berburu Mutiara. Mutiara-mutiara Air
tawar bisa didapat dengan harga cukup murah, gelang-gelang berkisar
antara Rp10.000 hingga Rp50.000. Namun, keindahan Mutiara-mutiara ini
tidak dapat dibandingkan dengan keindahan mutiara air laut. Keindahannya
pun berbanding lurus dengan harganya. Satu butir mutiara air laut
beratnya berkisar 1-4 gram, dan satu gram-nya bisa mencapai Rp.400.000.
Pffh, niat saya untuk membelikan Ibu saya kalung bundar full mutiara air
laut luntur sudah. Maklum orang awam, tidak tahu jika harga Mutiara air
laut sebegitu mahalnya. Yah, akhirnya kami membeli beberapa gelang
Mutiara air tawar sebagai buah tangan.
Segera setelah
mendapatkan semua barang yang diinginkan, kami buru-buru pulang karena
hari menunjukkan tanda-tanda akan hujan. Kami pun bergegas mencari ojek.
Benarlah dugaan kami, hujan pun tumpah dan kami kehujanan diatas roda
dua di tengah perjalanan. Entah mengapa kami naik ojek seharga Rp10.000
padahal taksi bluebird dapat kami tumpangi dengan harga yang sama tanpa harus didera hujan-badai :-D
Dan
berakhir sudah petualangan kami karena besok burung besi akan
menerbangkan kami pulang ke kota masing-masing dan berkutat kembali
dengan kesibukan rutin yang membuat pusing.
-Oktober 2010, diselesaikan Desember 2011-
Terimakasih kepada Rahayu Fitri Purnama Sari, teman seperjuangan dan seperjalanan
Dian Ratih Fikamissa Falegy atas tumpangan hotelnya dan teman-teman BPK perwakilan Provinsi NTB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar