"Sungguh kita telah lancang,ketika menyamakan kasih ibu dg sinar sang
surya,bagaimana mungkin Matahari terbenam,sedangkan kasihnya tidaklah
pudar barang sedetikpun"
Baru saja membaca status salah seorang teman di salah satu Jejaring Sosial. Tak berapa lama telpon selular saya berdering, di caller id tertera "Ibu". Ah, ibu menelpon di siang hari, tak biasanya.
"Assalamualaikum.." salam saya,
Ibu menjawab salam saya dan bertanya saya sedang apa. Sejurus kemudian beliau berkata.
"Ibu hari ini masak pindang yo, tadi Ayah ke pasar beli ikan gabus, beli udang samo bayam, nak minta masakken yang mano??".
Saya terdiam sebentar, tiba-tiba dada saya terasa sesak, mata saya panas dan mulai berkaca-kaca. Saya mencoba menjawab se-biasa mungkin, menutupi keharuan yang datang tanpa diundang.
"apo bae buk, masak pindang bae jugo dakpapo". jawab saya.
"Yosudah, Ibuk masak pindang yo. Nak minta beliken apo lagi? ado yang dipengenin?" Ibu bertanya lagi.
"katek (tidak ada-bahasa Palembang), buk" jawab saya lagi.
Saya tidak dapat berkata banyak, semakin saya berbicara dan semakin saya mendengar suara Ibu, semakin dada saya sesak. Bahkan ketika menulis ini pun, air mata saya seperti tak ada habisnya.
Ah, Ibu.
Bahkan, sudah sebesar ini, sudah jadi istri orang, sudah akan jadi seorang Ibu (InsyaAllah). Saya tetap gadis kecil-nya seperti 10, 15 bahkan 20 tahun yang lalu.
Seribu tahun pun saya hidup takkan mampu membayar kasihmu Ibu...
“Rabbighfir lii waliwaa lidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa”
Jumat, 27-07-2012
13.00