sambil melihat baliho besar Indomie
"Kalo yang buat tulisan di baliho itu aku, tulisannya kubikin jadi Dian Seleraku"
#didengar oleh seorang perempuan yang tiba-tiba merasa ingin menyantap dirinya sendiri...
sekayu, 28 Juni 2011
20 : 15 WIB
The so-called mom's blog. Berisikan cerita-cerita biasa dari seorang perempuan bekerja yang begitu bangga menyatakan bahwa dirinya adalah seorang mama.
30 Juni 2011
10 Juni 2011
setahun kemarin
kamu selalu begitu
dan saya selalu dengan semua prasangka itu
untuk semua salah paham yang membuat runyam
untuk semua emosi yang sulit terkendali
untuk semua rasa ingin tahu yang terlalu
untuk semua misi yang tidak terjalani
saya memang tidak seperti perempuan kebanyakan
tidak terbiasa untuk sebuah kejutan
but, it was a surprise

this is a surprise

“mbak dian? Ini ada titipan tadi pagi. Katanya, selamat ulang tahun”
-KS travel Sekayu, 10 Juni 2010-
dan saya selalu dengan semua prasangka itu
untuk semua salah paham yang membuat runyam
untuk semua emosi yang sulit terkendali
untuk semua rasa ingin tahu yang terlalu
untuk semua misi yang tidak terjalani
saya memang tidak seperti perempuan kebanyakan
tidak terbiasa untuk sebuah kejutan
but, it was a surprise

this is a surprise

“mbak dian? Ini ada titipan tadi pagi. Katanya, selamat ulang tahun”
-KS travel Sekayu, 10 Juni 2010-
08 Juni 2011
you'll never walk alone
"Goooooooooooooooooooooool......."
Sore ini saya mendengar suara teriakan itu di sekitar kediaman kost saya ketika pulang kantor. Teriakan nyaring dan dikeluarkan dengan penuh semangat dan ekspresi kegembiraan.
Ekspresi dan suaranya tidak tertandingi meskipun ia satu-satunya Hawa diantara kerumunan bocah-bocah lelaki cilik. Dan satu tambahan lagi, umurnya sekitar tiga tahun-an.
Begitu natural. Tawa renyah yang pecah seiring langkah kakinya berlari mengejar bola membuat mata saya tak urung memberinya perhatian lebih.
Saya teringat, saya pernah menjadi perempuan yang begitu gila dengan olahraga ini. Bukan, bukan untuk terjun langsung ke lapangan dan menari-nari bak atlet professional. Bukan itu. Saya gila akan setiap pertandingan-pertandingan sepak bola di televisi, gila akan artis-artis lapangan hijau, gila akan klub-klub tempat mereka bernanung dan gila akan berita-berita tentang mereka.
Saya rela, begadang hingga tengah malam dan terbangun dini hari demi menonton pertandingan klub favorit saya. Saya rela berdebat dengan teman-teman saya demi menunjukkan bahwa klub favorit sayalah klub terbaik di dunia.
Saya masih mengingatnya. Dini hari di Tahun 1998, waktu itu saya masih kecil belum sebesar ini. Tidak usah tertawa sinis, sampai sekarangpun tubuh saya tidak mengalami perubahan berarti. Diantara tidur dan terbangun, samar-samar saya mendengar teriakan kakak saya di ruang tengah. Saya pun tergerak untuk melihat. Kakak saya sedang menyaksikan klub Sepakbola idolanya, klub tempat bernanungnya setan-setan berbaju merah, sedang tertinggal 0-1. Ada raut cemas di wajahya. Entahlah, apa yang dicemaskannya. Toh, menang-kalahnya si setan ini seharusnya tidak memberi efek sebegitu rupa kepadanya. Untunglah, pada saat itu pertandingan baru memasuki menit-menit awal babak kedua, harapan masih ada.
Namun, empat puluh lima menit babak kedua terlewati, Tim asuhan kakek-kakek berhidung merah ini tidak juga mampu menjebol gawang lawan.
Kakak saya sudah kehilangan semangatnya.
Namun, memasuki masa Injury Time, semangat itu kembali dikobarkan oleh sang kiper. Kiper ini, seorang denmark berrambut putih- tiba-tiba ikut maju ke depan dan meninggalkan gawang, memberi semangat kepada teman-temanyya untuk terus menyerang. dan keajaiban itu terjadi. Dua menit di dalam masa injury time itu, si Setan Merah berhasil menyarangkan dua gol ke gawang FC Holywood melalui dua pemain cadangannya. Kemenangan menjadi milik Manchester United dan air mata para pemain Bayern Munich bercucuran. Dalam dua menit, kemenangan yang sudah di depan mata pupus seketika. Dan saya menyaksikannya, Ekspresi kegembiraan di satu sisi dan kekecewaan di sisi lain. Saya memberi perhatian lebih pada Oliver Kahn yang terduduk lesu di depan tiang gawangnya, Samuel Kuffour yang menangis tersedu-sedu sambil membenamkan kepalanya menahan sedih yang tak tertahankan. Dan di kubu lawan, mereka larut dalam sorak sorai dan gegap gempita kemenangan.Itu cerita tentang kakak dan klub sepakbola favoritnya, Manchester United.
Dan saya? Saya pernah begitu mengidolakan Real Madrid dengan Raul Gonzalez dan Fernando Morientes-ya. Itu sudah lama, ketika saya masih berseragam putih-biru. Waktu itu saya adalah "Raul Madrid", saya adalah satu dari sekumpulan Madridistas. Saya jarang melewatkan pertandingan-pertandingan Liga Champions Real Madrid. Yah, banyak alasannya dan salah satunya adalah wajah-wajah ganteng khas hispanic yang berseliweran selama pertandingan hahahhhaha. Sering saya berdebat dengan teman-teman laki-laki saya. Mempertahankan bahwa Real Madridlah klub terbaik dan Raul Gonzalez adalah striker terhebat di dunia. Dan, kalian tahu Si Raul Gonzalez ini, Idola saya ini, pencetak gol terbanyak Liga Champions. Kekaguman saya tidak berkurang meskipun seiring bertambahnya usia dan bermunculannya para pemain muda membuat kemampuan suami dari Mamen Sanz ini dianggap tidak lagi mumpuni untuk klub sekelas Los Blancos ini.
Real Madrid bertahan di hati saya hingga masa-masa SMA saya. Dan memasuki akhir sekolah, seperti halnya ABG-ABG labil lainnya saya pun berpindah ke lain hati. Kali ini, hati saya tertambat pada klub yang bermarkas di kota kelahiran The Beatles, Liverpool. Dan sosok sang kapten Steven Gerrard menyita perhatian saya. Dan klub inilah yang selanjutnya mengisi hari-hari sepakbola saya.
Memasuki masa kuliah, saya pun semakin merah. Liverpool tetap menjadi tontonan wajib Liga Champions maupun EPL. Bersama empat teman kos saya yang sealiran, Riza yang sesama Liverpudlian, Jajuk dan Ayu yang membiru dengan Chelsea dan Frank Lampard-nyaserta Zulfa, si rosoneri yang tergila-gila pada Riki Kaka (Kak Jupe, Kaka desperate tuh di Madrid :-P). Satu lagi teman saya bernama Elok, yang tak henti-henti menyebut Persik Kediri dan Bobi Manuel :-D.
Tengah malam selalu gaduh dengan suara teriakan saya dan teman-teman. Penghuni kost lain hanya bisa maklum dan berusaha memaklumi, terutama tante Ipit yang selalu ribut tidurnya terganggu :-D (maaf ya tante...). Ibu kos pun hanya bisa mengetuk-ngetuk kaca kost-an sambil berkata "mbak, wis bengi, ojo tereak-terak". Namun perempuan-perempuan bandel bin bebal ini memang sulit dikendalikan.
Selain permainan yang apik, tentu saja wajah-wajah ganteng di lapangan hijau itu menjadi daya tarik tersendiri bagi saya dan teman-teman. Ritual nonton bola tengah malam ini juga menjadi semacam ajang mempererat tali persatuan dan kesatuan dalam menancapkan hegemoni Warsem di dunia kost-kostan Kalimongso (apa sih....)
Itu dulu waktu saya masih muda. Sekarang hasrat terhadap si kulit bundar itu berangsur-angsur memudar. Entahlah mengapa. Saya sendiri kurang tahu sebabnya.
Ah iya, mungkin karena saya tidak lagi belia seperti dulu kala.....
Langganan:
Postingan (Atom)